Friday, October 19, 2012

Khalasa


ketika saya mulai menulis ini, langit sedang bersahabat. tidak terik, juga tidak terlihat muram. teduh. orang-orang bergegas menjemput rezekinya. semua berdamai pada alam, maka alam berdamai dengan semua. langit mengintip, lega, katanya.


ketika saya baru akan selesai menulis ini, dunia jadi kacau balau. orang-orang mulai naik pitam, udara memanas, ubun-ubun mereka mendidih. satu membentak, lainnya menggertak. kerut di atas mata saling beradu. Berbicara tidak lagi berlandaskan kebenaran, sebab agama sudah jadi komoditi yang diperjualbelikan. 

perang-perang dingin terjadi. kita bertempur dengan kebekuan hati masing-masing.


ketika saya benar-benar telah selesai menulis ini, saya merasa benar-benar muak oleh manusia-manusia yang ributnya lebih menyebalkan dari getah pohon yang menempel di lengan baju. 



******

banyak yang ternyata lupa kesederhanaan.
semuanya cari eksistensi. kebaikan tidak lagi jadi urusan antara dirinya dan tuhannya. sekarang, orang lain pun harus tahu.
padahal ikhlas bukan lagi bernilai ikhlas bila ia telah sampai pada bibir-bibir yang melisankan. Ikhlas bukan lagi bernilai ikhlas bila niatnya bukan lagi berlandaskan Tuhan.
popularitas yang kini diagungkan tanpa sadar telah dituhankan : menjadi tuhan-tuhan kecil.

sebagian haus pujian. Yang lainnya kikir memuji, merasa diri dewa dewi? 

dari mana lagi kita harus belajar ikhlas? bicara kebenaran saja harus diumbar-umbarkan. 

media publik yang ada dijadikan sasaran alasan, menipu diri, katanya menyebarkan kebaikan, faktanya sebatas pencitraan.
saya benar-benar ingin tertawa.

~
ternyata menertawakan diri sendiri

ikhlas bersemayam di hati, hati pemiliknya yang bersih, yang setidaknya mau berkaca jika hatinya mulai menjadi keruh. dan mau meminta hati yang baru, jika yang lama ternyata sudah mati

ah,

sebaiknya saya mulai menulis kembali, biar langit bersahabat lagi.

Friday, October 12, 2012

CONTDRO


jika saja bulan kalah bersaing dengan kegelapan yang menyelimuti malam, maka tidak akan ada mimpi yang menaungi tidur melepas kelam. aku berjungkit melihat ke luar jendela, hitam..sedikit pekat. bayangan wajah rembulan tertutup malu pada kuasa bentangan atap bumi.
kalanya ada dia bersembunyi di balik resahnya langit. Mengumpulkan sedikit keberanian untuk menerangi malam esok, esok, esoknya lagi…
ia bermuram durja pada kemilau bintang. menyiratkan ketidakingintahuannya pada apa yang terjadi di bumi, ketidakmampuannya memberi manfaat selayaknya ia seharusnya ada. maaf, ucapnya. maaf jika harus menunda sebuah peran, menghalau celah hadirnya cahaya kehidupan.
layaknya penerang, seharusnya bulan mengayomi banyak insan. Aku melihatnya kini resah, kembali menekan urat menahan amarah. Ia cemburu pada yang ada. tapi entah pada siapa. mungkin pada bintang. karena sejatinya, bulan tak akan pernah bisa menjadi kilauan gemintang..

aku bukan bulan…
tapi, rasanya, resahku ada padanya.

Wednesday, October 10, 2012

tuts


Yang paling saya sukai dari proses menulis adalah kebersamaan waktu dengan perasaan. Saya membuka laptop, membiarkan jemari saya menari di atas keyboardnya. Saya sejenak melupakan dunia luar. Selama menulis, saya akan bersama pikiran dan imajinasi saya. imajinasidetin.

Seringkali, selepas ashar adalah waktu paling menyenangkan untuk berimajinasi. Lalu tanpa sadar, langit sudah memadamkan pedarnya. Mentari sudah singgah di bagian bumi lain. dan jendela kamar akan memberi sinyal, berhenti sejenak, magrib telah tiba.

Saya menulis, sebatas saya ingin melakukannya...

Saya hanya ingin menulis, mengungkapkan apa yang saya rasa. Terlepas dari ketidaksukaan siapupun terhadap apa yang saya sampaikan, apa yang saya ungkapkan, apa yang saya isyaratkan.
Saya hanya ingin menulis karena ruang di hati saya tidak cukup luas untuk menyimpannya sendiri.

Saya hanya ingin menulis, menggambarkan pola pikir, menuangkannya dalam kata yang semua orang punya hak untuk mengartikannya. Ia begitu global, ia punya seribu makna. Ia mengikat, mencitra, menganalogi bahkan menuduh dan mencaci. Kalian bebas mengartikannya, sebab saya tak mampu menghadirkan nada di dalamnya. Ia hanya mengalir,mengikuti arus perasaan yang menjalar melalui pembuluh-pembuluh dan desah nafas.

Saya hanya ingin menulis, terlepas dari kebosanan siapapun terhadap tema, alur, diksi, bahkan arti yang saya bawa. Sebab tangan saya bukanlah tangan Taufik Ismail, lidah saya bukanlah lidah Soetomo, otak saya bukanlah otak Khalil Gibran dan jiwa saya bukanlah jiwa para pemegang pena emas.

Saya hanya ingin menulis, untuk meyakinkan diri bahwa saya hanyalah manusia biasa. Yang dari kata-katanya terkadang muncul kebajikan dan kebermanfaatan, terkadang muncul kebodohan dan kesia-siaan.
Karena bagi saya, inilah tempat dimana saya bisa bermain dengan perasaan sendiri. Mencoba memahaminya dari sudut pandang orang lain. sebab apa yang saya tulis adalah apa yang saya pikirkan. Ia mendeskripsikan diri ini begitu akurat. Saya akan tahu kapan saya belajar, bersosial, mencari pengalaman, menggalau, senang, gelisah, marah, sedih, sombong, angkuh, iri, berharap, bermimpi…. 

Saturday, October 6, 2012

pieroctobref


Demi Tuhan pemilik Ar-Rasyi, cabut, buang, atau jauhkan sifat sombong, dengki, sifat ingin dipuji, sifat merasa diri lebih baik dari dalam diri ini.

Saya mulai lelah dipermainkan oleh si kecewa karena kebodohan si tinggi hati.

Demi Tuhan pemilik Ar-Rasyi, ajarkan saya untuk memperkuat doa, mengisi amunisi....
 karena lelah-lelah, rasa rendah diri, kejenuhan, bosan, keluhkesah, telah mendadak menggerogoti hati.

Didik pribadi ini agar mengencangkan sabuk ikatan imannya, menggantungkan harap padaMu saja, bukan pada makhluk, bukan pada ciptaan, bukan pada manusia.

Jangan menyerah pada kefuturan. Jangan menyerah pada kefuturan. Jangan menyerah pada kefuturan

Terakhir,
Allah.. tetapkan hatiku dalam genggamMu..sibukkan daku dalam kebaikan selalu...
Allahumma aamiin...