Tuesday, February 12, 2013

Lautan


Ada hikmah di balik mogoknya motor. Singkat cerita ya kurang lebih begitu. Siang itu, saya harus ke kampus padahal masih libur. Sehari sebelumnya, hujan besar, jalanan depan rumah banjir semata kaki. Khawatir hari itu kembali hujan, ibu saya sempat melarang. Tapi mana mungkin saya tinggalkan kegiatan hari itu; mengurusi kegiatan kemahasiswaan, janji bertemu teman, dan liqo.  Dan karena motornya mogok, saya harus pergi menggunakan angkutan umum.

Selesai semua agenda, hujan membasahi jatinangor. Untung sedia payung. Saya berjalan bersama Hansya menelusuri gerbang keluar Unpad. Lalu menaiki angkot, menuju rumah. Hujan belum juga berhenti. Makin lama makin deras. Saya sms ayah saya untuk menjemput di depan komplek perumahan, karena angkot tidak masuk jalur perumahan, sedang rumah saya jauh dari pintu awal komplek.

Saya tinggal di komplek Kencana, komplek perumahan yang terdiri dari sekitar 16 blok.  Cukup luas, dengan dua pintu keluar utama, orang sekitar menyebutnya “Pintu Satu” yang dekat arah Dangdeur dan “Pintu Dua” yang dekat arah Majalaya. Satu persatu penumpang angkot turun, bersisa 5 orang penumpang, satu ibu-ibu, empat remaja putri.

*****
From me,
To : Ayah (work)
Ayah jemput detin dong, udah di dangdeur ya.

From me,
To : Mama (work)
Ma, suruh Ayah jemput detin ya

From Ayah,
To : Detin Cute
Yah, nti klo udah smp pemasaran and hujan raat. Banjir,
Tunggulah dulu

Kringkringkring..
incoming call from Mama (work)
“ade udah dimana? Hujan besar de, banjir dalem di pemasaran.”
“banjir banget? Detin udah di deket rel kereta.”
“yaudah, coba ntar pelan-pelan kesana”
“oke”
Disconnect.

Hujan masih terus mengguyur. Jalanan banjir.
Ibu-ibu penumpang angkot, tinggal di blok 10 perum Kencana. Kebetulan tukang angkotnya hendak pulang ke arah Majalaya. Si Ibu-ibu menawarkan jika mengantar masuk ke perumahan, ongkos akan ditambah. Kebetulan kelima orang penumpang semua tinggal di Kencana.  Satu orang tinggal di blok 1, si ibu beserta 2 orang anak perempuannya di blok 10 dan saya di blok 12. Akhirnya supir angkot setuju. Masuk melalui Pintu Satu, nanti keluar di Pintu Dua, lanjut kea rah Majalaya.

Connect to Mama (Work)
“Ma, angkotnya masuk perum. Ga usah jemput”
“Alhamdulillah hehehe. Ntar turun di deket Lapang Liga aja.”
“oke”
Disconnect.

Melewati pemasaran…lulus.
Begitu belok ke Jalan Teratai Raya, yang menghubungkan pintu satu dan pintu dua, Nampak lautan. Banyak orang mendorong motornya. Tukang becak menarik becak dengan upah pasti diatas 15.000 meskipun dekat. Jalanannya berlubang di banyak titik. Sisa 4 orang penumpang, 1 orang sudah turun di blok 1. Karena takut angkotnya mogok, si Ibu-ibu menasehati agar belok ke blok 5 saja, Jalan Suplier. Supir menurut, karena dia tidak tahu medan di  wilayah itu.

Ooooh..setelah masuk blok 5..ternyata jalan ditutup.muter-muter sana-sini. Banyak mobil mengantre, membunyikan klakson. Penduduk sekitar tidak bergeming. Gerbang jalan tetap di tutup. Kami putar arah, setau saya masih ada jalan tembus dari blok 5, keluar Jalan Dahlia. Sebenarnya agak kurang setuju dengan usulan si ibu untuk  belok ke blok 5, pertama, karena ternyata si Ibu dan 2 anaknya ini tidak hapal jalanan blok 5. Jadi, otomatis semua bertanya pada  saya. Kedua, ironisnya, 19 tahun lebih saya tinggal di Kencana, saya ingat-tidak-ingat dengan seluk beluk Kencana, karena cukup luas dan karena saya bukan tukang Becak. TK-SD-SMP saya jadi anak rumahan, yang bermain hanya sekitar rumah, menelusuri perumahan hanya saat Ramadhan, selepas Kuliah Subuh. SMA jadi anak kosan, dan kuliah jadi rider amatiran. Juga karena kemampuan geografis saya buruk, yang bahkan pernah keukeuh bilang bahwa Riau ada di Kalimantan, ditambah, jalanan banyak yang ditutup, penghuni angkot marah-marah, si ibu mengutuk menyumpah serapahi warga yang menutup jalan, supir angkot kesal, saya jadi stress. Dan memilih berdoa saja.

Sudahlah, terjang saja banjir di Teratai Raya, karena itu jalan utama, tidak mungkin ditutup. Tapi Si Ibu kekeuh takut angkotnya mogok -,- jadi dia berinisiatif lagi untuk belok ke blok 6. Beberapa mobil juga ikut belok ke blok 6 karena ada beberapa bapak-bapak berdiri di gerbang bblok 6 dan menganjurkan lewat sana saja. Kami masuk…beberapa belokan, jalannya di tutup. Kami terus mencari jalan lain.
Saya ingat ada jalan lain, dan ternyata tinggal sekali belok menuju keluar…..jalannya ditutup -,- antrian mobil panjang. Semua membunyikan klakson. Debat dengan warga, semua isi angkot marah-marah. Saya mengambil payung, berinisiatif melihat apa yang terjadi di depan, angkot kami antre di agak belakang. Setidaknya bertanya pada warga, apa tidak bisa dibuka sebentar, ini jalan umum, sudah mencari-cari jalan sejak tadi, semua ditutup. Tapi si ibu-ibu melarang saya keluar. Oh baiklah, satu persatu mobil mundur, mencari jalan lain. Kami terpaksa ikut mundur. Padahal sudah dekat, tinggal sekali belok. Hiks.

Warga menutup jalan karena khawatir jika mobil masuk, air akan membludah, memasuki rumah mereka. Baru pertama kali pengalaman seperti ini. Rumah saya di blok 12, jarang banjir besar, juga bukan jalan alternative dari Teratai Raya untuk menuju blok lain. Jadi tidak banyak dilewati. Satu kali pun, belum pernah jalanan di rumah saya di tutup.

“ini jadi harus lewat mana jadinya?” Tanya supir.

Semua esmoseeh.

Semua berpendapat. Akhirnya kami memutuskan lewat Gradiul, jalan besar yang kemungkinan tidak ditutup.  Menabrak penutup jalan yang hanya sebuah kayu di atas sejenis grobak angkut semen (apa itu namanya -,-.) Dan waaaw. Banjir hampir masuk ke dalam angkot. Subhanallah.

Saking heboh dengan dalamnya banjir, tempat seharusnya saya turun, terlewati. Kalau turun di situ, meskipun bukan dekat Lapang Liga seperti yang ibu saya sarankan, banjirnya tidak terlalu dalam. Tapi karena kelewat, sadar sudah lumayan jauh, dengan kondisi Gradiul yang banjir besar, saya berencana turun di jalan Tanjung. Si ibu bersama dua anaknya turun di belokan blok 10, Jalan Bakung, member 25ribu untuk 3 orang pada supir angkot. Ah, gawat, uang di dompet saya Cuma ada 50.000 satu lembar, 100.000 satu lembar, koin 500 rupiah, dan 2000 dua lembar. Kalau dikasih 50.000, nanti takut dimahalin. Grasak-grusuk, mencari di setiap saku tas. Akhirnya menemukan 4000 di sela-sela tas. Total, berarti punya 8000. Akhirnya saya turun di Jalan Tanjung, karena tidak mungkin angkot memutar balik untuk mengantar saya ke dekat Lapang Liga. Kasihan juga supirnya, sudah tampak stress. Saya turun, dengan membayar seadanya, 8000.

Perjuangan belum selesai. Saya harus menyebrang Jalan Teratai Raya untuk bisa masuk belokan blok 12. Dan subhanallah, cetar membahana sekali, beberapa senti di atas lutut saya terbenam air. Saya berjalan melawan arus, jadi tambah berat melangkah. Beberapa anak-anak bermain air di pinggiran. Kolam renang dadakan. Anggaplah begitu -,-

Akhirnya, saya sampai juga di belokan blok 12. Terharu. Saya masuk lewat Herbras 7, banjir hanya semata kaki. Menyebrang lapang, tidak banjir sama sekali. Lalu Alhamdulillah sampai di Herbras 4, rumah saya, jalannya hanya banjir se mata kaki.

Rumah. Damai. Sudah sangat sore. Ibu dan ayah saya hanya tertawa.

Untung Alhamdulillah saya tidak bawa motor. Tidak bisa dibayangkan kalau saya terjebak banjir membawa motor. Terus mogok. Nyeeeh.

Malam hari banjir sudah surut, dan pagi-pagi Teratai Raya sudah pulih. Tapi, kalau siang hujan lagi, pasti kami dapat banjir kiriman lagi. Cukup dua hari banjir begini. Kasian orang kantoran. Ayah saya jadi pulang sebelum jam 4, takut kena banjir lagi.

nasib tinggal di Bandung coret  :--((

Semoga, pihak yang berwenang mengurusi sarana, prasarana, infrastruktur, atau apapun itu istilahnya, cepat memulihkan kondisi ini.

Sebentar lagi saya kuliah soalnya.


Monday, February 11, 2013

Eudaemonis



Setoples keripik, ditemani selimut yang cukup tebal, di bawah temaram lampu neon 14 watt, menyaksikan acara-acara di televisi, memindahkan tombol remote sesering mungkin, mencari acara yang mendidik, atau setidaknya menghibur, atau kalau tidak ada yang seperti itu, minimal yang tidak membodohi.

Di samping saya, dengan wangi nya yang khas, lengannya yang bertimbun lemak, terduduk seorang wanita tengah baya, dia ibu saya. Sambil melingkarkan satu lengan saya pada lengannya, menempelkan pipi dan hidung di lengan atasnya, menyandarkan diri di bahunya, mirip seperti seorang anak yang sedang merajuk ibundanya untuk dibelikan es krim. Saya suka suasana seperti ini. Saling mengomentari isi acara televisi. Lalu sampai pada waktunya jemari saya berhenti menekan remote. Stasiun televisi swasta menayangkan sebuah acara berita.

Berita pertama yang kami tonton sore itu sedikit membuat ibu saya menegakkan sedikit punggungnya. Sebuah berita tentang kematian seorang mahasiswi Universitas Indonesia asal Bukittinggi karena melompat dari angkutan umum. Salah satu angkot Jakarta membawanya keluar dari jalur operasi angkot tersebut seharusnya. Setelah. Saksi mata di TKP menyatakan bahwa berusaha untuk keluar dari angkot, kemudian kepalanya terbentur trotoar. Wallahualam apa yang sebenarnya terjadi dalam angkot, sehingga korban nekad untuk melompat dari dalam.

Heyaahh. Saya dan ibu saya saling menggelengkan kepala. Mengekspresikan mimik muka yang ketakutan. Kemudian, entah berapa paragraf kalimat yang keluar mulut ibu saya, menasihati..kamu de, hati-hati kalau lagi di angkot. Jangan naik angkot yang kosong, cari yang udah hampir penuh, kalau bisa ada ibu-ibunya. Dan blablablabla.

Ngeri. Kota-kota besar sudah semarak tindak kriminalitas, korbannya kebanyakan gadis yang berpergian sendiri. Wajar kalau ibu saya khawatir.

Belum sempat reda keempatian terhadap berita pertama, pembaca berita melanjutkan isi berita tentang…lagi-lagi saya harus menghembuskan nafas dengan berat…tentang pemerkosaan seorang siswa SMK oleh 6 orang pemuda. Geleng-geleng kepala lagi. Sepakat untuk terus menonton berita tersebut, dengan komat-kamit nasihat ibu saya.

Berita selanjutnya, adalah tentang pembunuhan bayi oleh pembantu rumah tangga di kawasan Jakarta. Berdalih ada perampok masuk rumah, akhirnya sang pembantu harus mengakui bahwa dia yang membunuh bayi majikannya. Haaaaaah.

Kami setia menanti iklan berakhir, kemudian berita kembali dilanjutkan.

Kali ini tentang sindikat perdagangan bayi. Bayi-bayi dijual dengan seenak jidat. Manusia kini seharga tv 21 inchi atau kulkas dengan 2 pintu, barang yang mudah diperjuabelikan. Andai bayi tersebut bisa bicara, dia akan mempertanyakan tanggung jawab orang tuanya, mengapa ia diperlakukan seperti itu.  

Berita beralih pada masalah politik yang menggunjing partai besar berwarna biru dengan lambang segitiga. Prahara di dalamnya yang tidak selesai-selesai. Dan berita KPK yang menciduk para koruptor baru, dugaan korupsi impor daging sapi, penyelewengan dana arena PON, dsb,dsb. Saya sebagai rakyat bosan dengan semua berita ini. Bosan benar, jengah.

Saya berinisiatif untuk memindahkan channel tivi. Kenapa isi semua berita demikian?

Pembunuhan, penjambretan, tindak asusila, pemerkosaan. Orang-orang nekad mencuri, melecehkan wanita, hingga merenggut nyawa, dilatarbelakangi keterdesakkan kondisi. Lingkungan yang memaksa mereka demikian, ditambah dalam diri tidak ada penyelaras emosi, tidak ada kekuatan iman, hingga mereka tidak lagi mempedulikan bahwa sejatinya tindakannya tidak pernah luput dari pandangan Tuhan. Mereka hanya perlu tahu bagaimana caranya mengisi perut, bertahan hidup, sementara dirinya tidak pernah mau beranjak dari lemahnya keinginan untuk belajar, memperbaiki taraf hidup dengan cara terhormat. Menghalalkan segala cara, mencari alternatif se-instan mungkin, berujung merugikan orang lain.

Dan sialnya lagi, ini berlangsung turun temurun.

Paradigma untuk mencari jalan instan memenuhi kebutuhan hidup seperti virus yang menginvasi satu sel, kemudian menyebar ke sel-sel lainnya, atau sekedar seperti seorang yang melihat seseorang menguap, lantas tertular untuk ikut menguap. Menular.

Kriminalitas bukan hanya dilakukan oleh kaum marginal. Para elite pun punya trackrecord dalam mewarnai data kriminalitas Negara. Ironisnya, sering kali kejahatan yang mereka lakukan lebih menyiksa banyak pihak karena meliputi urusan kemaslahatan hajat hidup banyak orang. Kamiskinan bukan selalu menjadi DNA yang menentukan tingkat kriminalitas. Ketidakpuasan terhadap apa yang dimiliki, keinginan untuk memperkaya diri, tenggelam dalam kemewahan dunia, mengatasnamakan kekuasaan, menganaktirikan kepercayaan. Kenyataannya, agama tidak pernah lepas dari segala aspek. Termasuk kontrol diri.

Manusia memang tempat salah dan lupa. Tapi kalau keseringan salah, sampai terbiasa salah yang disadari, bukan manusia namanya. Tidak ada manusia yang tidak punya khilaf, tapi tentu ada keimanan yang mendidik manusia untuk mengetahui batasan.

Solusi klasik, tapi bukan klasik namanya jika belum kunjung diterapkan. Memang pendidikan selalu menjadi setitik cahaya di ujung terowongan panjang. Pendidikan science, teknologi, pembentukan karakter, pendidikan budaya, dan agama. Media yang terus menerus menginformasikan berita kejahatan tapi lupa menarik sisi optimis bahwa di ragam belahan bumi Indonesia, masih terkubur kisah inspiratif yang belum digali media. Masyarakat dibodohi dengan berita negative, seakan Indonesia ini memuakkan karena disana sini atmosfernya selalu suram. Hingga akhirnya terbiasa dengan kabar menyedihkan, ya seperti saya ini.


banyak yang memisah-misahkan nilai. mengotak-kotakkan pemikiran. terlebih tidak punya panduan. ke laut ajeee...

padahal ada Islam. Islam itu kaffah, menyeluruh. Semua unsur harus melibatkan agama. Politik pemerintahan sekalipun. Pandangan dan pemikiran diatas jangan-jangan sebatas sekulerisme yang ingin memisahkan agama dari aktivitas kehidupan. Berakhir dengan liberalisme yang membebaskan kehidupan. Berawal keraguan berakhir ketidakyakinan. Ngeri. Yang ini lebih ngeri.



Banyak yang tidak paham dengan agamanya, mereka adalah yang tidak mengerti. Tapi lebih banyak yang salah paham dengan agamanya, mereka adalah yang menafsirkan sesuatu dengan salah. Yang salah paham atau gagal paham ini yang bahaya. merasa diri mengerti, tapi menafsirkan dengan salah.

Ah, melebar kemana-mana ini bahasan.

Saya jadi pusing dengan apa yang saya tulis. Sudahi saja.

Saya berlindung pada Allah dari ketidaktahuan dan dari pendapat yang tidak benar.

Monday, February 4, 2013

meracau


Jadi tiba-tiba bernostalgia ketika Ali bertanya di pagi cerah tapi menyengat. Pertanyaan Ali cukup memancing pikiran-pikiran yang pernah saya kubur hidup-hidup.

“Nah, apa?” Katanya.  A-P-A. APAAA?

“apa yang bisa meyakinkan saya kalau kalian memang sebuah keluarga?” kata Ali

Bocah kelas 2 SMA yang saya tidak kenal siapa namanya menjawab, “ya..karena kita satu nasib”

“saya di ITB, masa adik saya harus di sana juga? Itu maksudnya satu nasib?”

“bukan gitu kang….”

Ya..ya…yasudahlah adik baik, saya mengerti maksudmu. Bukan “nasib” kata yang cocok untuk diutarakan disini. Harusnya ada kata lain, tapi sebentar, saya cari dulu. Nanti kalau sudah ketemu, saya kasih tau.

Hatta, melanjutlah Ali memancing mereka dengan kail dan jala (?) membuat semua anak menunduk, entah lapar, mengantuk, atau berpikir. Sulit dibedakan.

Seorang anak yang lain mengacungkan lengannya, mengatakan salah satu dari sekian banyak yang ingin saya katakan. “……, ya itulah yang membedakan kita dengan organisasi lain. Keluarga”. Sayangnya Ali belum puas juga, saya juga tidak puas sebenarnya. Ya, pada akhirnya Ali lah yang harus menjelaskan maksudnya bertanya, untuk memuaskan dirinya juga, barangkali.

Dan karena saya tidak pandai mengingat apa yang dikatakan Ali, maka sekarang saya memutuskan untuk bermain dengan pikiran sendiri, saya sedang ber-senandika. Senarai panjang kata-kata yang akhirnya muncul meneror saya pada kondisi masa silam yang pernah saya pupuk dan siram baik-baik, lalu saya bakar dan bumihanguskan sendiri, kamudian saya coba Tanami lagi. Ah, ternyata saya pernah menjadi se-innocent anak kecil yang bermain dengan lego nya, mendirikan istana, dan karena bosan kemudian diacak-acak lagi.

Saya pernah bosan dengan satu kondisi, sebut saja kondisi seperti ini(?). Saya pernah menyamaratakan semua nilai organisasi, yah, semuanya event organizer. terus saya bosan, berencana mengubur hidup-hidup idealisme yang dulu pernah ada, eh taunya, yang namanya pemahaman emang ga bisa sembarang di kubur, harus ada surat izinnya dulu (?)

Jadi, tolong tanggung jawab ya, Gama, gara-gara kata-kata kamu, saya jadi kepikiran ini lagi. Ini bukan judul film, bukan juga sinyal suatu telepon selular, tapi 3G, Gara-Gara Gama, saya sedikit tersentil, dia bilang, tidak seperti organisasi lain. Dan kalau boleh menambahkan, saya-anak kemarin sore- yang belum juga sembuh dari tidur indah masa lalu, ini pun tidak seperti organisasi sejenisnya, yang pernah saya kenali. Yang mungkin Ali tekankan adalah bahwa keluarga itu senang sedih dirasa bersama, saling mengingatkan dalam kebaikan, saling men-support. Hingga akhirnya, setetes demi setetes air mata para adik akhwat menjelaskan unek-unek mereka. Salah seorang dari mereka menasihati yang lainnya, katanya dalam keluarga tidak ada yang tidak istimewa, ibu selalu menganggap semua anaknya istimewa, tidak ada anak yang tidak disayang ibu. Teman-teman kita yang jarang datang, berhusnudzon lah, bukan berarti mereka tidak ingin merapat, tapi mungkin karena kita seringkali tidak mengindahkan kehadiran mereka, mereka mungkin saja merasa tidak diistimewakan, tidak dianggap penting.

ukhuwah ^^
Karena hidayah datang dari mana saja, hikmah dipetik dari siapa saja, dari mereka pun saya diingatkan kembali dengan kata-kata yang pernah didaratkan untuk saya dan teman-teman 2011 lain. Tiba-tiba saya menjadi makhluk imbesil dan justru mereka mengakselerasi kedewasaan. Ini bisa saja terjadi. Dan saya hanya sebatas imago, mereka bermetamorfosis duluan. Sampai akhirnya saya sadar kembali setelah mengoonsumsi sebungkus roti coklat keju.

Sebuah keluarga, dengan pentingnya sebuah penghargaan dari masing-masing anggota keluarga. Saling merasa dihargai. Punya tujuan yang sama,merasakan hal yang sama, kalau kakak sakit, semua ikut merasakan, kalau ibu demam, semua ikut merasakan.

Kita membangun sebuah komunitas bernama keluarga yang didalamnya tumbuh kesepahaman yang integral, meskipun berbeda cara menjalani hidup, semuanya tetap satu integritas. Mengalir bersama zaman, pragmatisme tumbuh untuk menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah. Kedinamisan untuk berlega hati menghargai perbedaan, menyikapi bahwa setiap orang adalah penting.

Terimakasih sudah diingatkan kembali.
Kontemplasi selesai.

Setelah berpanjang ria menulis ini, tahukah Anda, bahwa sebenarnya saya sedang menulis tentang organisasi dengan leadershipnya. Goalnya gak dapet ya? Yasudahlah, ga apa-apa.

"ibarat satu tubuh"
Dari dauroh pengurus Alfurqon 2014, pelajarannya saya ambil untuk fosikagi ya.

Terimakasih adik-adik 2014, alumni AF 2013-2009 yang sempat hadir. Titip AF ya 2014, dijaga dengan baik-baik, hikmahnya kalau belum berasa sekarang, pasti suatu saat akan benar-benar terasa.

Ohya, sampai lupa. Saya tadi kan mau ngasih tau, kata “satu nasib” kurang cocok, jadi kata yang seharusnya dipakai -minjem istilah popular- adalah “ibarat satu tubuh”.

aza aza fighting! ^^