Wednesday, December 19, 2018

ambivalensi

setiap manusia (sepertinya) pernah mengalami pergolakan batin antara takut sekaligus berharap. 

congkaknya manusia, seringkali lupa pada apa yang dipunya, terlampau ambisius terhadap apa yang belum dimiliki. 

saya pikir saya cukup kebal dan memiliki imun yang berlapis-lapis sehingga bisa dengan mudah melewati fase membingungkan tapi bingung apa yang sebenarnya saya bingungkan. Bingun kan ya? 

nyatanya... saya terjangkit penyakit itu juga. Penyakit para milenial.

Hah! ternyata, melewati quarter life crisis benar-benar menguras emosi.
Ketakutan dan harapan adalah dua garis jiwa yang berlawanan tetapi berada pada sudut yang saling berhadapan.

Lalu rasanya ingin nangis di pojokan, kenapa waktu cepat sekali berlalu, padahal saya bahkan belum memutuskan pilihan.
menikmati si waktu beserta setiap detik-detiknya yang berdenging, atau melaju sambil takut-takut dan (sudah pasti) melelahkan.




ini saya lagi curhat, lho. Kamu ngerti, kan? 
Iya aja biar cepet.


-detin, si tukang ngomong sendiri-

Friday, December 7, 2018

fanlar.

Saya, seperti kebanyakan wanita yang tidak begitu peduli dengan keadaan, cenderung sulit untuk dibuat kagum.. Tapi begitu ada yang menyentil perasaan, mencolok pupil mata dan menghujam ulu hati, hempasan kekaguman itu menyeruak ke dalam setiap bagian tubuh saya yang rapat tertutup lemak..

Andaikata saya jatuh hati pada seseorang yang bahkan belum pernah bertemu,  ke-nge-fans-an itu bisa saja  dengan  diam-diam berkembang biak dalam diri saya, hanya melalui tulisan dan kemisteriusan dirinya. Semakin saya terjun menyelami siapa dia, semakin imajinasi tentang dia tergambar jelas dalam memori, seperti hendak menguasai isi hipokampus saya, si kuda laut dengan tugas kerennya itu, pengolahan memori. Iya, memang tidak bertemu, cukup dengan hanya mengingat kata-katanya dan kisah hidupnya yang sepenggal-penggal itu dari jari-jarinya, seolah-olah seperti saya menjelajahi dunia spasial-temporal (?)

Dia. Sosok wanita dengan kemampuan mencengangkan dan kecintaan mendalamnya  terhadap buku-buku. Menuliskan siapa dirinya dengan begitu misterius, seolah bumi ini bukan kandidat yang layak untuk jadi tempat memperkenalkan dirinya. Semakin misterius dirinya, semakin saya terobsesi. Dia mendefinisikan ketertutupannya dengan memberikan seuprit teka-teki tentang siapa dia, bagaimana dia menjalani hidup, perannya sebagai anak, istri, ibu, tetangga, pekerja, dan sebagai dirinya sendiri. Saya bisa habiskan waktu untuk mengagumi kemisteriusannya, keahliannya mencerna buku-buku dan kemampuannya mengilhami saya tentang bagaimana melihat ketidakteraturan dari sudut pandangnya.

Dia... memikat saya, tanpa dapat dimengerti.

Lalu tiba-tiba semuanya berubah ketika negara api menyerang. Entah bagaimana, dia menjadi seterbuka itu. Dia menjadi seorang ibu-ibu kebanyakan-- ibu-ibu pada umumnya. Teori parenting itu, semakin kesini membuat saya semakin muak. Banyak ibu yang terlalu mengkhawatirkan anaknya untuk suatu hal yang tidak perlu dikhawatirkan--bahkan tidak perlu dipikirkan. Bagaimana mungkiiinn oh whyy.. dia jadi termasuk yang rajin afirmasi dan kampanye untuk menjadi ibu-rumah-tangga-yang-baik-pandai-mengatur-keuangan-dan-tidak cacingan-dengan-kegemaran-membagikan-ilmu-parenting-bertubi-tubi-di-media-sosialnya. Haaaaah!

Dengan berlandaskan kepercayaan bahwa latihan menulis setiap hari akan membuat kita terbisa-produktif-dan bermanfaat, maka sosok dirinya berubah. Dia mulai menuliskan apa saja. Apa saja. Benar-benar APA SAJA. Semuanya. Catatan kajian, resume seminar, hikmah kehidupan, resep makanan, temuan ilmu parenting, pendapat ahli, rangkuman livestory IG selebgram parenting........ *cryyy awak cry*

Iya iya iya. Kamu akan tidak sependapat dengan saya, kalau saya bilang saya tidak suka dia yang sekarang. Kamu akan bilang bahwa transformasinya menjadi ibu-ibu-muda kekinian itu adalah tren milenial. Berbagi dan eksistensi adalah identitas, itulah moto para mahmud gen Z, yaa atau gen Y mentok lah.

Tapi saya patah hati. Saya dikecewakan oleh kemunculan dirinya yang terlalu banyak menulis apa yang tidak ingin saya baca. Dia menjadi terbuka, tapi bukan keterbukaan tentang dirinya lagi, cara penyampaiannya yang terlalu notulensi benar-benar membosankan. Sekarang, apa bedanya membuka blognya dan membuka wikipedia :( Hatiku terpotek, *cakar-cakar tembok.

Sungguh disayangkan, saya kehilangan idola, padahal diidolai olah saya adalah sebuah kehormatan *yakali siapa lu*  intinya saya mulai risih dengan dia yang terlalu sering bercuit tentang ini itu. Dia kehilangan warna dan karakter di hati saya. hiks.

Tertanda, fans yang pundung.
detin












Friday, November 23, 2018

Nafas Naga

Sejak ribuan tahun sebelum masehi, sudah terkenal sebuah kutukan yang sangat mengganggu kehidupan manusia. Mitos dari berbagai bangsa bermunculan, mereka mencari banyak cara supaya terhindar dari sesuatu yang dianggap "kutukan" ini.

Kutukan itu bernama : Bau Mulut.

Jauh-jauh hari, sekitar 1000 tahun sebelum masehi, bangsa Yunani sudah berusaha menghilangkan bau mulut dengan menggunakan susu kambing dan kedelai sebagai obat kumur. Penduduk Irak memercayakan cengkeh, sedangkan orang-orang Cina buru-buru mengunyah cangkang telur untuk menetralisir bau mulut. Bahkaaaan, bangsa Romawi menambahkan urin manusia sebagai obat kumurnya. YAKS! Kreativitas manusia memang sungguh cemerlang. Kadang berlebihan.

Lalu, sebenarnya apa itu bau mulut? kenapa terdengar mengerikan, bahkan orang-orang Yahudi dahulu diperbolehkan menceraikan pasangannya jika ia kedapatan mengidap bau mulut. Sadis.

Bau mulut atau yang dikenal dengan istilah halitosis atau breath malodor atau fetor oris atau nafas naga, atau jungle mouth, atau apapun, you name it, sebenarnya hanyalah persepsi subjektif. Karena kesubjektifan yang seringkali membingungkan itulah, maka para pakar sepakat untuk membagi halitosis menjadi tiga kelompok.

Pertama, Genuine halitosis adalah halitosis yang benar-benar nyata, ada, tercium, bahkan terukur dengan parameternya sendiri, dengan alat ukur yang (sayangnya-sepertinya) hanya tersedia di negara-negara maju. Sepanjang sepak terjang di dunia kedokteran gigi, saya belum pernah lihat halimeter atau portable gas chromatograph terpampang cyantikk di klinik-klinik gigi Indonesia
Kedua, Pseudohalitosis adalah ketika orang-orang merasa sangat menderita karena merasa nafasnya bau, padahal setelah diperiksa, nafas mereka sebenarnya baik-baik saja.
Ketiga, Halitophobia, mereka menderita bau mulut, lalu diobati dan nafasnya sudah kembali normal, tapi pasien ini masih keukeuh merasa dia bau mulut. Seakan-akan bau itu menghantui hidupnya, dan mereka merasa menderita karena terlalu takut yang berlebihan. Jangan cari dokter gigi, sebaiknya cari psikolog saja.

di Amerika sendiri, orang berbondong-bondong menghabiskan satu juta dolar uang mereka demi membeli produk-produk "deodoran" untuk nafas mereka. Padahal produk-produk itu hanya menutupi secara superfisial, tidak efektif dan buang-buang uang, sungguh sebuah fenomena "inefficient masking attemps"

Sekarang, bayangkan bau-bauan yang paling busuk yang pernah kita cium, sampah? daging busuk? feses? 
semua bau-bauan busuk itu berasal dari aktivitas mikroorganisme, khususnya bakteri.  Bakteri-bakteri "bau busuknya sampah, daging busuk, dan feses" adalah bakteri-bakteri yang mirip dengan yang hidup lingkungan mulut. Faktanya, lingkungan mulut manusia sejatinya merupakan pabrik terbesar berpenduduk jutaan mikroba, baik virus, jamur, protozoa maupun bakteri. Tapi mereka bukanlah pengungsi, mereka adalah penduduk pribumi tubuh kita yang keberadaannya sangat vital diperlukan, benar-benar kita butuhkan, mulai dari proses mengunyah dalam mulut, sistem pencernaan, hingga pencegahan penyakit.

Jadi, bagaimana bau-bauan dari mulut itu diproduksi?

Bakteri, -tentu saja- memerlukan makanan. Untuk keberlangsungan hidupnya, bakteri memerlukan atktivitas metabolisme dengan memakan sisa-sisa makanan, lendir, maupun jaringan mati dalam mulut kita. Semua bahan makanan itu di absorpsi di membran sel bakteri, lalu mereka memecah komponen asal makanan berupa zat organik (misalnya protein) ke dalam bentuk molekul yang lebih kecil (misalnya asam amino). Serangkaian proses degenerasi proteolitik ini menghasilkan produk sampingan yaitu hydrogen sulfide yang terselundup di air liur, tumpukan epitel, cairan gusi, bahkan darah.

 Mari berkenalan terlebih dahulu dengan para bakteri yang secara normal dan damai hidup di mulut kita. Phorphyromonas gingivalis, Prevotella intermediaAa comitans, dan Fusobacterium nucleatum, mereka bakteri normal tapi sayangnya bersifat oportunis. Saat lingkungan mulut mulai tidak bersahabat, mereka menjadi sedikit liar. Mereka semua adalah bakteri yang memproduksi Volatile Sulfur Compound/VSC, si cikal bakal asal muasal bau itu berasal. Sebenarnya mereka sudah begitu baik menjaga iklim mulut kita tetap harmonis, seimbang, sehat bersahabat. Tapi tentu saja mereka akan marah dan mengubah diri mereka menjadi "bad guy" bila lingkungannya terganggu. Perubahan lingkungan ini  mayoritas diakibatkan oleh tindakan kita sendiri. Sedih ya. Beberapa penelitian mengatakan mayoritas bau mulut berasal dari gigi yang berlubang, 51% berasal dari lidah yang kotor, 13% karena gusi yang bermasalah dan hanya 4% yang diakibatkan oleh penyakit sistemik.

Iya iya. Bahasannya mulai terasa terlalu berat.  
Kamu pusing? saya jugaaa...

intinya... Hilangkan penyebab. 

Jika ada gigi yang berlubang, segera tambal sebelum terlambat. Karena kalau sudah kena saraf gigi, pilihannya hanya dilakukan perawatan saluran akar yang harganya jutaan itu, atau.. menunggu gigi mati membusuk. 
Karena lidah ibarat karpet luas tempat para bakteri leyeh-leyeh dan membentuk pasukan kolonisasi, maka lidah yang kotor adalah sumber bau mulut. Kita hanya perlu menyikat lidah, cukup menggunakan sikat gigi, disapukan ke arah luar.
Karang gigi adalah miniatur benteng cina dalam mulut, bakteri tumbuh dengan montok di suasana gigi yang kotor. Jangan tanya seberapa baunya nafas orang dengan karang gigi yang berdiri kokoh. Cukup lakukan pembersihan karang gigi, lalu maintain dengan sikat gigi rutin sehingga karang gigi tidak terbentuk lagi.
Jika perlu, tambahkan antimicrobial agent, misalnya obat kumur Chlorhexidine, gunakan tongue scraper, dental floss dan tentu saja, sarapan yang bergizi :)

itulah hal-hal sederhana yang bisa kita usahakan untuk menghilangkan bau mulut. Sebenarnya simpel, cuma keseringan malas. Jadinya bablas.

Seringkali penderita bau mulut justru tidak menyadari nafasnya bau.. ngegemesin banget :" 
sebenarnya mereka bisa saja melakukan tes dengan menutup mulut dengan tangan mereka lalu menghembuskan nafas, kemudian cium baunya. Tapi ternyata cara ini kurang efektif. Mungkin bau itu sudah teraklimatisasi dan familiar menyatu dengan aroma dirinya :)

Jadi, kita hanya perlu menarik nafas dalam-dalam.. lalu hembuskan... di depan orang lain. Lalu tanyakan reaksi orang tersebut. Itulah sebaik-baik dan semurah-murah tes yang tersedia :)
Jangan pernah lupakan bahwa penciuman adalah indera primitif yang didapat sejak lahir dan berperan dalam "menarik perhatian"

Bagaimana dengan bau dari jengkol dan petai yang termahsyur itu? Kita bisa sedikit lebih lega karena bau-bauan itu bersifat fisiologis, sehingga hanya hadir sementara. Tentu saja, seperti rindu, hanya waktu yang dapat mengobatinya :)


*note : akhirnya.... setelah ratusan purnama, saya mulai menulis yang agak serius dikit. Rasanyaaa seperti... terlahir kembali hakshakshaks... senangnyahatimamak :*












Tuesday, October 9, 2018

Terpegang di abu dingin

(Diklaim) maha benar kenyinyiran manusia..

Sudah dipejamkan mata rapat-rapat, nyatanya, apa yang ditakuti jauh-jauh hari justru terjadi.
Menulis ini, lalu dejavu... 
Seperti pernah terjadi, dan ternyata, memang sering dialami. Ditulis, lalu dihapus. Ditulis kembali, lalu dihapus lagi.

alamaaakkk.... pernah ga pernah ga siihh... ketika disebutkan satu hal (spesifik), mood langsung terjun bebas. Terdrama dalam sejarah hidup. Duh, 

Dia adalah Takdir. Dan kita (saya) tidak lagi bisa memilih. Seperti halnya memilih dari rahim siapa kita dilahirkan, karena tidak semua ibu benar benar menjadi ibu.

Tidak semua ibu, benar-benar menjadi ibu.

Berdamai dengan diri adalah satu-satunya teman perjalanan ini.


Tuesday, May 1, 2018

alter ego


adakalanya yang perlu kita lakukan adalah terus memperhatikannya tumbuh, mekar, berbunga. Meskipun dalam dirinya, ia menopang ranting yang rapuh, akar yang tidak cukup kuat menembus, tidak cukup banyak bekal, sebab ia tertanam dan terlahir dari tanah yang tidak begitu subur. 

Menyaksikannya tegar berdiri, terpogoh-pogoh menyatukan kepingan kekuatannya, sambil seringkali tertiup kencangnya angin, dengan akarnya yang hanya seadanya, sebab ia tidak mewarisi apapun... Mungkin saya berpikir pendek tentang "hanya sebatas itulah pemberian Tuhan untuknya", tapi betapa saya harus terkagum kagum kembali melihat daun-daunnya yang perlahan menghijau, membuat rindang tanahnya yang kering, dan menjadi payung teduh bagi tanaman liar yang justru menggerogoti dirinya. Meminta apapun yang ia punya termasuk materi dan waktunya, yang terus meminta pikirannya, yang selalu menjadi beban fokusnya.

Cukuplah menjadi pelancong yang singgah menyandar di batangnya yang kekar dan bersisik penuh kerja keras, jika tidak mampu menjadi air yang membantunya tegak dan bertumbuh pesat. Tanpa mengganggu pikirnya untuk menjadi sebaik-baik pohon yang menjulang. Cukuplah tidak menambah beban kerjanya, sebab sudah banyak yang perlu dipikirkannya; termasuk gulma yang menggerogotinya, tanah lahirnya yang kering dan akarnya yang rapuh tadi.

Semoga Tuhan membimbingnya selalu. Memantapkan hatinya, mencurahkan harapan dan tidak pernah memadamkan semangatnya. Harum namanya, bersinar manfaatnya...

Izinkan terus berbenah agar menjadi sebaik-baik air yang mengalir, menyusuri sela-sela kuatnya dirimu.