Sunday, January 10, 2016

NYC.

Aktivitas weekend saya selama empat bulan terakhir cukup melelahkan. Kesana kemari, menelusuri jalanan Bandung mencari "jodoh". Saya baru tahu, ternyata mencari rumah lebih sulit dari mencari pasangan. Puluhan rumah sudah kami lihat-lihat. Beribu-ribu kilobyte sudah kami habiskan untuk membuka setumpuk iklan jual rumah. Sampai detik saya menulis ini, saya belum berjodoh. Belum ada rumah yang membuat saya kasmaran sampai berkeinginan untuk memikirkannya siang dan malam.

Pernah ada satu hari, saya melihat iklan rumah dengan luas tanah besar namun harga miring, saya langsung jingkrak-jingkrak seperti orang yang baru dapat hadiah umroh gratis. Saya langsung suruh cowok saya telepon orang propertinya. Singkat cerita, sepulang saya klinik, sekitar jam 5 kami berangkat. Namun, harapan saya harus mati sebelum bunuh diri. Ternyata rumah yang saya sudah imajinasikan berlebihan itu sudah kosong --yang kata mas-mas propertinya-- "beberapa bulan". Saya tidak yakin "beberapa bulan" cukup mendeskripsikan dengan tepat lama waktu tumpukan debu di lantai dan langit-langit terbentuk. Karena hari mulai gelap, sialnya lampu rumah sudah tidak banyak berfungsi, jadi kami harus menelusuri rumah luas tanah besar itu dengan menggunakan senter hape. Saya tidak suka menonton film uji nyali, karena saya merasa kedamaian tidur dan ke kamar mandi sendirian saya bisa terganggu. Hari itu, saya seperti sedang syuting film horor. Saya harus akui, bulu kuduk saya merinding. Jangan tanya apa respon saya soal rumah itu. 

Seperti membuka pintu rumah yang sudah lama ditinggal kosong, membuka kembali blog ini terasa memberikan kengerian yang sama. Berbulan-bulan blog ini dibiarkan kosong, membuat saya merasa takut untuk kembali menulis sesuatu, sampah sekalipun. Berkali-kali saya mencoba menulis sesuatu, tapi saya merasa terlalu idealis. Saya berusaha menulis sesuatu dengan tema yang menarik, bahasan yang tajam, sehingga menghasilkan tulisan yang tandensius. Boro-boro bahasan yang tajam apalagi tulisan yang tandensius, mencari tema yang menarik saja cukup menghabiskan setengah jam saya melongo depan laptop.

Awalnya saya memutuskan untuk menulis hal yang tidak menarik dan tidak penting, seperti “kisah perjalanan Detin Nitami selama 2015” yang ditulis dalam bahasa formal. Tapi sepertinya itu bukan ide yang baik. Karena kata Ali r.a, jangan beri tahu tentang dirimu, temanmu tidak membutuhkannya dan musuhmu tidak mempercayainya. Jadi saya tidak akan cerita kalau saya ini baik hati, ramah, anggun, dan rendah hati *BWAKAKAKAK* saya hanya mencoba menuliskan keistimewaan 2015 bagi saya. Di dalamnya hanya ada beberapa momen-momen luar biasa yang merubah arah hidup seorang saya secara keseluruhan. 2015 adalah tahun fantastis dan tahun serba gelar baru. Saya bukan tipikal orang penggila gelar yang hobi memanjang-manjangkan nama, tapi mendapat gelar Nyonya, S.KG dan Koas dalam satu tahun adalah hal yang warbiasyaaaahhh. Sebuah komposisi yang mustahil untuk tidak bersyukur karenanya.

Dan 2016 sudah datang. Ekspresi “yang bener looo???” adalah gambaran paling tepat untuk menjelaskan situasi kondisi hati dan psikologis saya. Itu artinya waktu yang ada untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan semakin mendesak dan.... harus diakhiri dengan akhir yang baik. Resolusi dibuat, yang menyedihkannya adalah seringkali resolusi hanya tinggal resolusi. Yang setiap akhir tahun tidak sengaja membaca hasil tulisan resolusi awal tahun diikuti pertanyaan gila “serius gue pernah nulis ini???”

Percayalah, semenjak saya menjadi sedikit intelek, saya selalu membuat resolusi awal tahun. Dan hampir semua tahun, saya tidak memenuhi target saya. Dan target itu, dengan bodohnya terus saya tingkatkan di tahun-tahun berikutnya. Ibarat saya menargetkan untuk punya uang 5 milyar (INI HANYA ILUSTRASI HAHAHA)  di tahun 2015 yang tidak saya capai, 2016 saya malah membuat target punya uang 20 milyar. Kisah nyatanya seperti ini : target 2014 saya nambah hafalan setengah juz,  kenyataannya justru saya malah mengacaukan hafalan saya yang ada. Di 2015, saya dengan pede nya menulis lagi resolusi hafalan ditambah 2 surah lagi. Padahal hutang hafalan tahun lalu nya belum dilunasi. Atau ketika menulis resolusi 2014 berat badan xx kg, di 2015 target itu ditingkatkan lagi padahal xx kg di 2014 belum tercapai, di 2015 targetnya menjadi xx-2 kg. Kenyataannya diet always starts tomorrow. Itulah arti resolusi hanya tinggal resolusi. Sebuah tindakan menyedihkan, tapi mayoritas orang melakukannya. Kamu juga ya? Haha.

Di 2016 ini, atas bimbingan Pak Ryan, saya disuruh untuk buat resolusi jangka pendek, seperti target setiap bulan—yang kemudian diubah menjadi kebiasaan, sehingga tanpa sadar di akhir tahun kebiasaan ini membawa kita pada target yang lebih besar. Ini teoritis sekali. Memang sangat teoritis sekali. Duh.

Yang terpenting, hasil musyawarah dan kesepakatan bersama Pak Ryan, kami memutuskan untuk memprioritaskan silaturahim sebagai target 2016 kami. Menjalin tali tali yang hampir terkoyak, tercampakkan, dan compang camping, karena kami adalah makhluk-makhluk yang hina dan kurang peka, sehingga silaturahim adalah tebusan dosa bagi ketidakpekaan kami selama ini. Seringkali saya ketinggalan info atau tidak peka pada momen penting seseorang. "oh dia sekarang kerja disini?" "oh dia lanjut kuliah disana?" "oh dia udah mau nikah sama si itu?" "oh dia udah lulus?" "dia sidang hari ini? oh. (yaudah)" dan yang paling parah "oh selama ini dia teh kuliah disana?" padahal temen-temen deket semasa SMA :( gak ngerti kenapa ada orang cuek parah kaya saya gini. Bawaan lahir atau gimana sih... Orang kayak saya pantesnya jangan ditemenin. Hiks. Dan hal itulah yang akan kami perbaiki di NYC -new year ciecie- ini. Begitulah.