Friday, March 23, 2012

sebatas awan nisbi


Maka, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Bismillah,
Ayat berulang dalam surah Ar-Rahman ini kembali mengingatkan saya akan satu kegiatan unik di rumah belajar Ciroyom. Malam hari, 17 Maret 2012, selepas magrib, saya dan seorang teman saya mengunjungi rumah belajar (rumbel) Ciroyom untuk memfiksasi satu kegiatan volunteer doctors berkenaan dengan rumbel ini. Sebelumnya, jujur, saya belum pernah datang ke tempat seperti ini, tempat perkumpulan anak-anak jalanan, terletak di parkiran atas gedung pasar Ciroyom yang fungsi aslinya sudah tak banyak digunakan lagi.
Lokasi yang lumayan asyik untuk kegiatan perkumpulan, sebuah masjid berukuran sedang berdiri disana juga terhampar halaman luas, khas tempat parkir. Memasuki ruang dalam masjid lalu disambut riuh anak-anak yang berlari-lari tak beraturan, saling mengejar, saling tertawa, mereka lepas, apa adanya. Meskipun saya sama sekali tidak terbiasa dengan penampilan mereka, manusiawi saya berhasil menuntun berfikir bahwa mereka sama dengan saya, mereka makhluk penyempurnaan ciptaan Sang Khalik, mereka manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Saya duduk, mengambil ancang-ancang mendekati relawan lain yang entah siapa dan darimana asalnya. Malam-malam begini, mereka masih setia menemani puluhan anak jalanan ini, membungkusi kue-kue dalam satu kardus kecil cantik, merapikannya lalu menyusunnya, ada apa sebenarnya? Selagi teman saya berdiskusi dan beradvokasi dengan si empunya rumbel terkait kegiatan kami esok harinya, saya yang sebenarnya hanya menemani, memilih untuk mendekati personal anak-anak jalanan itu.
Ketika duduk mendekat kearah pintu keluar, saya bertanya pada seorang anak rumbel itu, “ini mau ada apa de, banyak kue-kue?” mereka menjawab, “kita mau tampil, Ka.”Oh ya, saya ingat bahwa malam itu akan diadakan teater pementasan purnama, mereka akan menari dan bernyanyi. Menarik, sayang terlalu malam, rumah sudah memanggil-manggil minta segera pulang.
Dengan jalan menunduk, seorang anak laki-laki membuka lemari di sudut kiri masjid, membukanya dan mencari-cari sesuatu. Dia berhasil membawa keluar sebuah buku gambar dan pensil lalu kemudian berjalan mendekat. Seraya dia menghempaskan badannya, duduk dengan ringan tepat di hadapan saya. Saya tersenyum, tapi tidak dibalas. Dia kembali menunduk, membuka-buka halaman demi halaman buku gambar, mencari kertas yang masih kosong. Saya mengira umurnya sekitar 9 atau 10 tahun, rambutnya acak-acakan, saya tidak berani mengira kapan terakhir dia mandi.
Dengan perlahan, si anak menggoreskan pensilnya pada kertas membuat lima segitiga bersambung, saya mengira itu adalah gunung. Lalu dia menambahkan diujung segitiga yang kelima dua buah garis yang semakin lama semakin membesar kearah bawah, saya mengira itu adalah jalan. Lengkap dengan garis-garis tenganya. Setelahnya, dia menoleh ke arah saya, menyodorkan pensilnya dan menyuruh saya membuatkannya sebuah rumah dengan perkataan yang terbata-bata, belum lancar. Saya menggambarkan sebuah rumah dan berkata padanya,
“mau rumah tingkat berapa?”
“2 aja ka.”
“ini teteh contohin satu, kamu buat disebelahnya ya.” Tidak digubris, dia tidak mau.
“Yaudah, gambar gentengnya aja. Garis-garis kecil-kecil sini.”
“ga mau. Ka, bikinin kebun stroberi.”
“ga mau. Buat dulu gentengnya.”
“ah! Ga mau. Cepet ka buat kebun stroberinya.”
Hm, ini anak bandel ya, ga nurut. Kemudian saya membuat garis-garis horizontal dan vertikal membentuk atap rumah di lantai satu rumah gambaran saya.
“nih, tinggal gini. Tarik...tarik...sreeet...sreeet..” saya mencontohkan. Kemudian saya mengembalikan pensil kepadanya, dan dia akhirnya mau membuat garis-garis atap di lantai dua. Dengan perlahan dan lumayan acak-acakan, saya lega, setidaknya dia mau menurut.
Lalu dia minta dibuatkan kebun stroberi, saya bingung mau gambar apa. Akhirnya saya membuatkan sawah khas gambar anak sd, berpetak-petak lengkap dengan tanda ceklis yang melambangkan padi tumbuh. Saya dengan bangga memperkenalkan, bahwa gambaran itu adalah kebun stroberi.
“Ayo, kasih ceklis ceklis disini, garis-garis aja.”
Ya. Dia mau.
“O ya, namanya siapa de?” hening. Tidak ada jawaban. Dia khusyu membuat garis-garis. Menunggu dia selesai dengan garisnya, saya kembali bertanya namanya, dia jawab “Yudi”.
“ka, bikin matahari itu gimana?”
“bulet aja de.”
“gambarin ka.”
Akhirnya saya membuat lingkaran, lengkap dengan mata dan senyum melengkung di dalam lingkaran. Semakin melunjak, si anak menyuruh saya membuat awan. Saya membuatkan satu, kemudian menyuruhnya melanjutkan, dia tidak mau. Lagi-lagi menyuruh saya menggambarkan awan yang banyak untuknya. Ah, dia tidak akan belajar kalau begini. Saya berfikir dia anak malas, yang ingin gambarnya bagus tapi tidak mau mengerjakannya. Saya bilang agar dia yang melanjutkan, tapi dia malah acuh dan mendumel memaksa saya menggambar, dengan jawaban yang sama “ga mau, cepet gambar ka”
Saya menarik tangannya, membenarkan pegangan pensilnya, lalu menuntunnya membuat awan. “Teteh ajarin buat awan ya.” Dengan mata yang sepertinya tertarik, dia mengikuti setiap gerakan tangan saya diatas tangannya. Awan dengan enam lengkungan berhasil kami buat. Kami mencoba membuat awan lainnya.
“satu..dua...tiga...empat...lima...enam...” setiap lengkungan awan kami berhitung. Lalu setelahnya saya melepasnya dan membiarkannya menggambar sendiri.
“Ayo coba.”
Dan hasilnya... sebuah garis lurus, bukan lengkungan.
“eh ka, gimana tadi?”
Saya menuntunnya kembali menggambar satu lengkungan, dia melanjutkannya. Namun belum berhasil juga. Berkali-kali dia hapus garis yang dibuatnya. Saya menuntunnya kembali. Lama kelamaan, dia berhasil membuat lengkungan penuh awan. Hm, saya mulai berfikir.
Dia kembali meminta saya membuatkan burung. Hal yang sama saya lakukan seperti tahap membuat awan. Menuntun tangannya membuat burung, kemudian dia melanjutkan. Awalnya, lengkungan buruk yang dia buat. Tangannya menekan pensil, namun lengkungannya masih tetap buruk. Saya akhirnya sadar, dia bukan bandel dan tidak nurut ketika saya meyuruhnya membuat awan, dia hanya tidak bisa membuat lengkungan.
Pantas, dia menggambar gunung, jalan, dan atap rumah yang hanya bergaris lurus, namun sangat kesulitan saat membuat matahari, awan, atau burung. Saya menarik tangannya kembali, membiasakannya membuat lengkungan. Dia mau belajar. Sampai akhirnya dia asyik sendiri dengan lengkungan-lengkungannya.

Iya, ada banyak hal yang mungkin menurut kita sepele. Di saat usia kita menginjak 9 tahun, kita sudah pandai perkalian dua angka. Tapi sebagian orang bahkan belum bisa menambahkan angka. Dari malam itu, saya sangat bersyukur bahwa Allah telah limpahkan saya kemampuan belajar lebih cepat dibanding anak ini. Pengalaman langsung memang selalu membekas di memori kita, bagaimana rasanya tertampar karena sering mengeluhkan kekurangan diri, memandang keatas, membandingkannya dengan kelebihan orang lain, padahal tindakan tersebut merupakan sumber kepesimisan. Lalu lupa sebenarnya kita patut bersyukur atas kelebihan diri. Sempat tak bisa berkata-kata, hanya menyaksikan si anak membuat lengkungan demi lengkungan, lalu, nikmat Tuhan mana yang bisa saya dustakan?
Dunia sosial kemanusiaan memang ranah pembelajaran diri sebagai makhluk Tuhan. Dimana kelebihan dan kekurangan akan saling melengkapi. Ranah tempat kita menemukan banyak sarana untuk bersyukur, lalu merasakan sendiri nikmatnya rasa syukur itu. Sesekali, rasanya seperti dada terhimpit, dan mata mulai tak sanggup menahan laju air, mereka hanya belajar bagaimana cara untuk hidup dan mencari makan untuk kepastian esok perutnya bisa kenyang. Lalu kita lupa untuk berbagi. Manisnya berbagi didapatkan dengan memberi, hal itu adalah sebuah keniscayaan bahwa kita akan mendapatkan lebih banyak dari apa yang kita beri, mungkin tidak saat ini, tapi Allah tidak pernah lupa mencatatnya.
Pelayanan yang kita berikan kepada sesama itu sesungguhnya sewa yang kita bayar untuk tempat di bumi ini. Jelaslah bahwa maksud dunia ini bukanlah untuk memiliki dan mendapatkan, melainkan untuk memberi dan melayani.
                Kemudian saya meninggalkannya malam itu, si anak laki-laki kecil berpakaian kotor yang bahkan, tidak bisa membuat lengkung.

2 comments:

  1. nice post det :) kyk nya temen yg pergi bareng nya kenal deh... hehe

    ReplyDelete

comment this post