Monday, January 11, 2021

Sudah Semestinya Dilakukan

 Banyak kekhwatiran muncul ketika kita menjadi orang tua baru. Mayoritas kekhawatiran berkutat tentang masa depan si anak, tapi tidak sedikit dari kita mengkhawatirkan masa depan kita sendiri, sebagai orang tua.

Hal yang sangat membuat saya khawatir tentang masa depan saya sebagai orang tua adalah, apakah jika anak saya sudah besar nanti, saya akan mengungkit-ungkit apa yang sudah saya lakukan hari ini terhadapnya? 

"Bara, Mama mengandung kamu, melahirkan kamu dengan susah payah, membesarkan dengan memberikan yang terbaik untuk kamu, kalau Bara sakit, mama yang jaga, Mama bawa-bawa Bara meskipun mama harus kerja............ Gak kasihan kah Bara sama mama sekarang? mama minta uang bulanan......." adalah contoh kalimat yang sangat sangat sangat saya khawatirkan keluar dari mulut saya saat dia besar nanti. Bukankah, mengandung, melahirkan dan membesarkan anak adalah hal yang sudah semestinya dilakukan orang tua yang menyayangi anaknya? Bukankah semua ibu memang akan melewati tahap mengandung dan melahirkan yang melelahkan? Kita melakukannya secara naluriah, dan berharap bernilai ibadah, kan? Maka, untuk apa kita menagih anak untuk hal-hal baik yang telah kita berikan untuknya?

Saya tidak kuat melihat fenomena orang tua yang mengungkit kebaikannya hanya untuk menagih imbal balik atas apa yang dilakukannya dahulu -lha, kan memang sudah tugas orang tua? 

Kita memupuk kedekatan dengannya, mulai dari jantungnya ikut berdetak di rahim kita hingga dia tumbuh besar, dan memiliki hidupnya sendiri. Sebuah proses yang panjang -dan alamiah, karena memang begitulah seharusnya. Jika saya tidak dekat dengan anak, bukankah sebaiknya sayalah yang berkaca apa yang salah dari pengasuhan saya, yang mengakibatkan jika anak sudah besar nanti, dia canggung dengan ibunya sendiri. Bukan dengan terus membuatnya merasa bersalah (guilt trip) dengan mengungkit-ungkit segala hal yang memang sudah semestinya kita lakukan sebagai orang tua.

Entah kenapa, saya selalu percaya, kedekatan yang terbangun karena kita hadir dalam hidup si anak akan membekas di memori anak, membuatnya mengingat tentang diri kita terhadap apa yang terjadi dalam hari-harinya, tanpa perlu kita ungkit-ungkit. Ibu saya tidak pernah mengungkit betapa sulitnya mengasuh saya dahulu, dan karena kedekatan yang terbangun secara alamiah antara saya dan ibu saya itulah yang membuat saya -tidak bisa dan tidak akan- melupakan pengorbanan apa yang dilakukannya untuk saya. 

Saya jadi teringat puisi Khalil Gibran yang terkenal :

Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau, tetapi bukan dari engkau, mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu. 
Berikanlah mereka kasih sayangmu, namun jangan sodorkan pemikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri. -Khalil Gibran

Anak kita bukanlah milik kita, ia milik Penciptanya. Kita hanya dititipi amanah, yang tidak berhak atas  penjajahan jalan hidupnya. Kita bukan penanam modal yang berinvestasi dan suatu hari menagih dan mengungkit apa yang kita tanam. Kita hanya menjalankan peran atas kesempatan yang diberikan Allah untuk beribadah di ladang ini sebaik-baiknya. Semoga kita terhindar dari rasa pamrih atas peran sebagai ibu, dan menghanguskan nilai ibadah kita sebagai orang tua.


Saturday, January 9, 2021

Sepuluh Januari

 A Leader has to be seen.

Menikmati jalanan dalam mobil ketika Bara tertidur di bangku belakang adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan. Jalanan macet seringkali tidak jadi masalah. Dalam mobil, tidak ada aktivitas lain yang bisa kami lakukan selain berdiskusi -tentang apa saja- yang sebagian tidak berfaedah sebagian lagi secara mengagetkan sangat membuka wawasan dan pandangan. Tapi tidak jarang diskusi berakhir dengan tebakan kira-kira, seperti bagaimana bisa tumbuh ulat dalam alpukat yang diperam? 

Pak Ryan ketika menyetir akan mengurangi frekuensi memegang handphonenya -sesuatu yang sangat sulit dilakukannya-, sehingga pembicaraan tidak banyak terdistraksi. Dan saya? 5 menit melihat layar hp di mobil akan membuat saya mabuk darat. Jadi, kalau mau berdiskusi sesuatu yang serius, kami tidak pergi ke tempat makan, tapi kami menghabiskan bensin mengendarai mobil. Tapi tentunya setelah perut kenyang. Karena rasa-rasanya, perut yang kosong akan membuat otak menjadi lebih tulalit. 

Hampir setiap berkendara, Pak Ryan akan menyetel Spotify/Podcast/Youtube yang berbobot. Dalam satu kesempatan, kami mendengarkan cerita bagaimana PT KAI bertansformasi. Saya sebagai anak kereta sejak bau kencur, saya merasakan betul perubahannya. Dalam wawancaranya, Pak Jonan berkata kira-kira seperti ini "dalam 5 tahun saya bekerja mentransformasi PT KAI, total mungkin hanya beberapa bulan saya tidur di rumah. Saya tidur di gerbong kereta, bekerja tanpa membedakan posisi. A Leader has to be seen" Setelah kalimat itu keluar, saya menelan ludah, dan Pak Ryan senyum-senyum sendiri. Bah....

Lima kali sudah saya melewati Sepuluh Januari bersama, sebagai wanitanya. Atau mungkin enam kali, jika dihitung sejak mulai mengenalnya. Semenjak menikah, tidak pernah sekalipun Pak Ryan menunggui saya di RSGM -atau setidaknya menjadi relawan pasien saya jaman koas dulu. Beruntung saat saya wisuda, dia bisa datang *lebay hahaha. Kami harus rela jadi pasangan akhir pekan, yang tidak jarang akhir pekannya pun terganggu pekerjaan. Sering sekali rasanya, kami cekcok hanya karena "KAMU PULANG TERLALU MALAM! SEKALIAN GAK USAH PULANG AJA toyibbbbb" atau karena saya terlanjur membayangkan liburan,  tapi ternyata tiba-tiba dia bilang "akang harus ke... blablabla", lalu melayanglah bantal (saya tidak berani melempar benda pecah belah, rugi kalau rusak- meski marah tetep harus perhitungan Bun). 

Lima kali melewati Sepuluh Januari, rasanya saya semakin melihat jelas dosa saya. Setiap mulut saya keluar kata-kata tidak berguna dan emosi saya meluap-luap, dia menawarkan solusi "yaudah, akang mundur aja, jadi karyawan aja supaya waktunya bisa lebih pasti, ya?" Lalu taring saya mendadak jadi tumpul. Dia tidak menikahi saya hanya untuk membatasi mimpinya, kan. Dia menikahi saya yang pendek dan tidak berbakat ini karena berharap bisa sama-sama bertumbuh. Dan saya? saya bukan parasit yang tumbuh dengan merugikan pihak lain. Banyak orang akan menjadi lebih bersemangat menyusun pencapaian ketika melewati hari kelahirannya. Dia bukan sepenuhnya milik saya, sebagian dirinya adalah miliknya sendiri, milik mimpi-mimpinya, dan milik kebermanfaatan umat. Hari ini saya merelakan ego, bahwa setiap keputusan tidak akan pernah lepas dari konsekuensi. Mengetahui konsekuensi dan memahaminya adalah bagian dari kebahagiaan menjalani hidup. 

Selamat Hari Ryan Sedunia!