Wednesday, August 23, 2017

Pak dan Bu Dayawiah.

Betapa lemahnya manusia. Kalau diuji dia mengeluh, diberi nikmat dia lupa diri. Mungkin salah satu alasan mengapa Allah membuat skenario hidup manusia naik-turun : untuk menjelaskan apa fungsi syukur. Kadang-kadang, ada kebahagiaan yang lebih mewah yang bisa dirasakan melebihi kebahagiaan mendapatkan nikmat (karena seringnya kita lupa bahagia saat diberi nikmat) : yaitu kebahagiaan saat bangkit setelah terseok-seok. Kebahagiaan ketika jatuh setelah lama "hidup datar-datar ajah" itu sangatlah melegakan. Kita perlu ditampar dulu untuk tahu rasanya sakit di pipi (?) Kita perlu jatuh dulu supaya tau pentingnya meminta, merasa seakan-akan berdoa adalah satu-satunya pilihan yang kita punya. Kita merasakan sendiri proses berakit-rakit ke hulu. Dan ketika badai sudah usai, kemudian Allah memberikan sebuah nikmat yang kita pikir itu adalah hasil dari doa-doa selama fase jatuh, bahagia yang tidak terdefinisi tercipta. Kita bahagia merasa sudah melewati ujian hidup, saking bahagianya masuk keluar wc pun selalu membaca doa, padahal kalau sedang "hidup datar-datar ajah" seringnya lupa. ngaku!

Sialnya kita, tumbuh di Indonesia, belajar dari budaya turun temurun tentang arti syukur yang seringkali simpang siur dan tumpang tindih dengan pertunjukan riya. Sejak kapan istilah bersyukur pada Allah atas nikmat terbeli rumah baru, dilamar anak orang, diberi anak, anak sunatan, dan dipanggil naik haji identik dengan gelaran "syukuran" menjamu orang-orang dengan makanan, dekorasi, tenda dan foto-foto. Jawabannya : sejak menjadi budaya. Kita diajari budaya bahwa hal-hal yang dirasa perlu disyukuri haruslah membuat acara lengkap bertema "syukuran" dengan urutan MC pembukaan-pembacaan ayat alquran-tausyiah-lalu makan makan. Budaya mendefinisikan bahwa bentuk syukur kita atas nikmat yang Allah beri adalah dengan berlomba-lomba menjamu tamu dengan jamuan semaksimal yang kita bisa, dengan tampilan baju terbaik dan riasan wajah tercetar. Hanyalah Allah yang MahaTahu atas niatan hati setiap hambaNya. Berdoalah semoga kita selalu terhindar dari paket lengkap riya, sum'ah, ujub dan takabur.  Belum selesai sampai situ, canggihnya lagi, semakin hari berganti semakin banyak kita mendengar istilah-istilah acara yang diberi embel-embel islami, yang paling sering dan saking seringnya mereka ulangi setiap tahun, "syukuran milad" -yang entah darimana istilah itu lahir. Jaman saya kecil istilahnya masih "pesta ulang tahun" tapi karena katanya pesta ulang tahun itu adalah perbuatan tasyabbuh, maka orang-orang menggantinya dengan istilah "syukuran milad" yang tinggal ditambahkan pembacaan ayat alquran dan tausyiah di rangkaian acaranya. Apalah bedanya, manusia memang pintar dan ada-ada saja -,-. Jangan-jangan beli motor baru ajah perlu acara syukuran. Jangan salah, masih banyak orang-orang yang beranggapan bahwa jika mendapat nikmat, dengan menggelar acara syukuran maka kewajiban untuk bersyukurnya telah terpenuhi.

Waktu terjadi fathu Mekkah, umat muslim sangat sangat sangat bahagia. Kebahagiaan mencuat, membuncah di hati rasul. Hari itu kaum muslim berhasil menaklukkan Mekah dari tangan Quraisy yang sudah berabad-abad mengakar dan beranak pinak. Kemenangan atas Mekkah  membuat Rasulullah menjadi sedikit berubah. Rasul tidak menggelar acara "syukuran Fathu Mekkah" (dan tidak pernah mengelar "syukuran" jenis lainnya) meskipun kenikmatan yang Allah beri pada hari itu luar biasa besar. Rasulullah justru berubah, dan membuat Aisyah kebingungan. Di akhir-akhir usianya setelah fathu Mekkah, Rasulullah justru semakin memperlama waktu sholat malamnya. Aisyah bingung mengapa sholat rasul menjadi lebih lama dibandingkan sholat-sholatnya sebelum fathu Mekkah, saking lama nya rasul duduk dahulu saat kakinya tidak kuat berdiri lalu kembali berdiri sambil terus melanjutkan sholatnya. Kata Rasul menjawab kebingungan Aisyah, apakah tidak boleh seseorang bersyukur padahal ia telah diberi kemenangan atas sebuah kota?

Definisi bersyukur bukan berarti wajib menggelar acara. Bersyukur berarti meningkatkan kualitas ibadah. Kita tidak bisa semena-mena mengatakan kita sudah bersyukur atas nikmat yang Allah beri dengan menggelar acara syukuran milad, pernikahan, kelahiran anak, naik haji, dll dsb dst. Semuanya hanyalah budaya, bentuk pemberitahuan bahwa : 'woy saya lagi ulang tahun nih"atau "alhamdulillah ya akhirnya saya dipinang anak orang" atau "Akhirnya daftar tunggu haji terlewati juga, saya berangkat haji nih bu ibu pak bapak". Bukan berarti menggelar acara-sejenis-yang-tersebut-diatas tidak boleh, sah sah saja, silakan menjamu tamu, memfasilitasi kerabat dengan kajian dan tausyiah, namun esensi syukurnya bukanlah terletak pada cara kita ber"sedekah makanan" dengan menggelar acara. Bentuk syukur yang diajarkan rasul (yang padahal sudah dijamin diampuni dosanya dan pasti masuk surga (kemudian saya baper..) adalah dengan meningkatkan kualitas ibadah. Sholatnya diperbaiki, sunnahnya dipersering, sedekahnya diperbanyak, silaturahimnya diperkencang. Itulah bersyukur. Bukan semerta-merta (atau semata-mata *mana yang bener?) dengan berbondong-bondong menggelar acara yang bersifat Budayawiah. Sekali lagi, hanyalah tradisi dan Bu-dayawiah, mohon maaf jika ada kesamaan nama dan kesalahan penulisan gelar (?)

Ini semata-mata hanyalah tulisan menggurui yang kalau dibaca sambil emosi pasti tidak akan jadi kebaikan apa-apa. Saya tulis, bukan bermaksud saya mau pamer kalau saya orangnya keren sholehah nan ahli syukur gitu *lah*, tapi justru saya ini orangnya cupu, sering khilaf dan terlena dengan "hidup yang datar-datar ajah" semoga jadi bahan pendongkrak bagi saya untuk tahu diri jika diberi nikmat berlebih.