Thursday, May 16, 2013

Kepala Dua

Dari Bahasa kepada Jiwa.
“Saya tak tahu, berapa waktu yang tersisa untuk saya. Satu jam, satu hari, satu tahun, sepuluh, lima puluh tahun lagi? Bisakah waktu yang semakin sedikit itu saya manfaatkan untuk memberi arti keberadaan saya sebagai hamba Allah di muka bumi ini? Bisakah cinta, kebajikan, maaf dan syukur selalu tumbuh dari dalam diri, saat saya menghirup udara dari Yang Maha?” - Helvy Tiana Rosa

Teruntuk Jiwa, ketahuilah bahwa Bahasa telah melantunkan sajak terindahnya sebagai hadiah doa bagi pelampauan. Waktu berbilang, satu demi satu detik berdenting, dan kumpulan hari kemudian memudar beralih, berganti wajah yang semakin mendewasa. 

Dan dengan tidak terasa umur manusia pun lenyap sedetik demi sedetik ditelan siang dan malam. Kiranya jika berkenan, semoga usia-lalu yang telah terlewati dan bilangan waktu-kemudian yang akan membersamai, selalu ada berkah disetiap jejak langkahnya. 

Saatnya merevolusi diri, berbenah hingga tidak mengenal lelah. Memperbaiki segala sisi dimensi diri yang perlahan rapuh terbakar percikan keburukan. Akan ada masa, dimana alam meminta kontribusi dari bertambahnya usia. Maka, belajar dan memberi adalah Bahasa yang selayaknya Jiwa miliki.

Saya tiada berucap selamat, sebab nyata bahwa umur semakin berkurang. Saya berucap semoga, sebab perjalanan waktu memberi arti untuk merancang bahagia, menambah kawan,dan merencanakan hidup mulia. 

"Count your age by friends, not years. Count your life by smiles, not tears." - John Lennon

Semoga berkah tiap langkah, istiqomah hingga husnul khatimah.
Allah, limpahi umurku dengan ketaatan. 
aamiin.

Salam, kepada Duapuluh.

Bahasa menulis untuk Jiwa, Dari doa menuju Arsyi-Nya.
Detin Nitami, Duapuluh tahun lebih satu hari :)  



Saturday, May 11, 2013

biosphere


Seorang bayi manusia dirawat oleh sekelompok kera, si bayi tumbuh selayaknya kera tumbuh. Nama bayi itu kemudian terkenal sebagai Tarzan. Cerita ini menjadi fenomenal karena dikemas oleh sentuhan magic Disney yang membawa kita pada negeri imajinasi. Bukan karena Tarzan jatuh cinta pada Jane yang membuat cerita ini istimewa, karena soal cinta, toh Belle pun bisa jatuh cinta pada Beast. Ini soal lingkungan yang menumbuhkan tingkah laku Tarzan, anak manusia dibesarkan oleh sekelompok kera.


Saya bukan peneliti yang sedang membuktikan seberapa besar determinasi lingkungan terhadap perilaku seseorang. Saya hanyalah seorang manusia biasa *hadeuuh*. Tapi saya yakin, pengaruh lingkungan sangat amat besar dalam pembentukan karakter seseorang. seperti halnya dalam film animasi *ketauan tontonannya beginian* semisal Tarzan. Karakter Alex dalam Madagascar pun rupanya mengajari kita, dimana kita hidup, disitulah karakter kita terbentuk. Alex yang sedari kecil hidup terkurung dalam kebun binatang Central Park New York, merasa diri superstar, dan bukan menjadi se-superstar sebelumnya ketika dia harus  berhadapan dengan alam bebas Madagascar. Lingkungan kebun binatang membentuk kepribadian Alex. Dan lingkungan hutan membentuk kepribadian Tarzan. Meskipun hanya dalam film, tapi saya suka cerita ini *terus kenapa?* Dalam akhir film, mereka bisa berubah selayaknya manusia dan selayaknya singa yang sebenar-benarnya, seutuhnya. Tapi satu hal, mereka harus keluar dari zona lingkungan mereka dulu, belajar bertemu orang baru, mencari jati diri, dan akhirnya memutuskan bersikap *saya bukan psikolog, tapi menurut kesotoyan saya, kayanya sih teorinya gitu *


Posisikan diri kita sebagai Tarzan-Tarzan abad 21. Masih mencari jati diri, masih galau menentukan jalan hidup, masih suka plinplan, masih suka bingung memutuskan *dan ini malah jadi curhat* buatlah satu keputusan besar : keluar dari zona nyaman. Cari lingkungan yang kece, yang membawa pada kebaikan. Bergaul dengan orang-orang yang gemar menasehati dalam kebaikan dan kesabaran… yap, buatlah keputusan besar. Orang baik selalu menerima kehadiran orang yang berniat untuk mempelajari kebaikan. *kaya ustadzah gini -,-


Saya wanita dari kampung, dan terancam berpikir kampungan tulen kalau tidak terselamatkan oleh nasib. Alkisah, kakak saya karena kesalahan sistem *maaf lagi-lagi nyalahin sistem*dia engga bisa masuk SMP negeri, sekalipun SMP Negeri di Kabupaten. Nilai Ebtanasnya kecil. Akhirnya semua kebingungan, untung saya masih TK, jadi engga ikut-ikutan bingung. SMP swasta di kabupaten Bandung Timur belum ada yang bagus, terus mahal pula. Setelah nangis berkawan bantal berhari-hari, kakak saya mendapat secercah harapan. Kebetulan tetangga kami itu kepala sekolah SMP Darul Hikam Bandung, SMP Swasta yang cukup bagus lah ya. Melepas kebuntuan, ibu saya mendaftarkan kakak saya ke SMP tersebut, yaaaaang, jauhnya bukan main dari rumah.


Biasalah ya ibu-ibu tukang gossip di warung kasak kusuk. Katanya buat apa sekolah jauh-jauh, sekolah dimana aja sama. Catat baik-baik di ingatan Anda  pembaca yang setia, di pikiran kebanyakan orang tua ternyata masih kolot dengan mengatakan “sekolah dimana saja sama”. Saya sama seklai tidak setuju. Ada faktor X yang membedakan satu sekolah dengan sekolah lain. Faktor X itu bernama lingkungan. Iya, lagi-lagi lingkungan.


Kalau saya diizinkan berandai-andai, maka saya akan berandai-andai seandainya nilai ebtanas kakak saya bagus. Ibu saya akan mendaftarkan kakak saya di SMP Rancaekek, kemudian lanjut SMA Rancaekek, dan kuliah entah dimana. Adiknya tentu akan mengikuti jejak kakaknya, SMP SMA lalu kuliah entah dimana. Selalu ada makna dibalik semua pertanda *ßini lirik lagu*Allah punya maksud yang lebih indah, diluar nalar seorang manusia. Ternyata, karena nilai ebtanas kakak saya buruk, akhirnya dia ikut berjuang bersama tetangga pulang-pergi naik kereta api berangkat subuh pulang magrib, demi pendidikan. That’s life. Show must go on.  Dan karena lingkungan, akhirnya kakak memilih untuk masuk SMA 3 Bandung. Dan seperti kebanyakan anak 3 yang lain, kakak saya melanjutkan studi ke ITB. Otomatis, teori adik mengikuti kakak itu berlaku. Akan berbeda hasilnya jika teori “sekolah dimana saja sama” masih berlaku di otak kita. Beberapa kawan kecil saya ada yang hidupnya lunta-lunta, hilang arah, berandal, cinta dunia dan bangga pada dosa, main tindik tindik tubuh mirip sapi. Kawan saya lainnya kini visioner, optimis pada masa depan yang cerah, dan menghargai hidup, dan dengan segala kesotoyan saya, lagi-lagi saya melihat mereka pada background lingkungan dimana mereka dibentuk. Padahal sama-sama hidup dibawah langit Kabupaten Bandung Timur. Lingkungan membentuk saya, membentuk Anda, membentuk semua orang. Jadi menurut saya, keputusan untuk memilih lingkungan haruslah diutamakan.


Berkawanlah. Itu salah satu prinsip menjalani hidup. Manusia butuh teman. Dan sahabat adalah deskripsi diri. Kalau mau menilai seseorang, lihat dari teman-teman terdekatnya. Lingkungan mendeskripsikan kita. Itu sebabnya Rasul mengibaratkan pertemanan dengan penjual minyak wangi dan pandai besi

Sesungguhnya kawan duduk dalam rupa orang yang shalih dan kawan duduk dalam rupa orang yang suka maksiat adalah seumpama tukang minyak wangi dan pandai besi. Tukang minyak wangi boleh jadi akan mencipratkan minyak wangi ke badanmu, atau engkau membeli minyak wangi dari dia, atau engkau mendapatkan bau harum dari dirinya. Adapun pandai besi boleh jadi memercikkan api ke bajumu atau engkau mendapati bau busuk dari dirinya.” (Mutaffaq ‘alaih). 

Seseorang itu bergantung pada agama  sahabatnya. Karena itu, hendaklah salah seorang di antara kalian memperhatikan dengan siapa ia bersahabat.” (HR Abu Dawud).
Terimakasih untuk mereka yang menyadarkan saya teori ini. Selektif memilih adalah modal awal dalam berkawan. Pandai-pandai membawa diri, sebab kita tidak pernah tahu bagaimana arus akan membawa kita. Butuh gaya yang besar untuk memulai. Momen inersia manusia untuk bergerak itu sepertinya luar biasa besar. Benda akan cenderung mempertahankan posisi diamnya, itu kata guru fisika. Tapi, daya tarik lingkungan yang baik –harusnya- memberikan dorongan yang lebih kuat, sehingga kita bisa memutuskan untuk beranjak dari lingkaran gelap, menuju cahaya yang terang benderang. Percayalah, bahwa tidak ada yang kekal di dunia, orang jahat sejahat-jahatnya bisa menjadi baik sebaik-baiknya, dan orang baik bisa berubah 180derajat menjadi orang jahat sejahat-jahatnya. Lingkungan merubah mereka. Lingkungan merubah kita…

sekian

Salam Hangat & Jabat Erat.
DN