Ada beberapa alasan orang mengatakan, jika ingin dihargai orang, maka hargai orang terlebih dahulu. Sepakat sih. Tapi ada beberapa pengecualian khusus untuk saya, yang mungkin setelah Anda baca, Anda akan berpikir untuk.......tidak berpikir apa-apa (?)
Saya percaya ada banyak jenis makanan enak di dunia ini. Daging salah satunya. Saya percaya, -misalnya- sate sapi atau ayam itu enak. Tapi seumur hidup saya, saya tidak pernah makan sate. Atau -misalnya lagi- bakso isi daging iti surga makanan, nendang enaknya! Tapi -sekali lagi- seumur hidup saya tidak pernah makan bakso isi daging. Saya tidak makan ayam dalam bentuk ayam (?) Saya cuma mau makan daging yg sudah diolah kebentuk lain. Misalnya diolah jd nugget, fillet, jd daging kebab, dll. Yang penting bentuknya udah bukan daging asli (?) lagi. Padahal logikanya, ya sama-sama daging. Saya tidak makan ikan yang banyak tulangnya. Atau kalau secara sengaja maupun tidak sengaja saya menemukan banyak tulang ikan dalam tumpukan nasi saya, kemungkinan besar kegiatan makan saya akan terhenti. Ya Tuhan, saya banyak maunya.
Seringkali ibu saya kebingungan kalau masak untuk saya. Tapi sederhana saja, ibu saya cukup masak sayur -apapun- dan saya akan bahagia. Masalahnya, ibu saya suka jadi kebingungan, sayur apalagi yang harus dimasak buat saya. Dari lodeh, sayur asem, sop, kangkung, bayam, soto, rawon, dll dll berbelas-belas tahun lamanya selalu bergilir ibu saya masak.......hingga bosan.
Iya iya, saya banyak maunya.
Jadi anehnya, secara semena-mena, saya memutuskan untuk sakit hati jika melihat makanan hasil karya saya tidak dimakan orang yang jadi naracoba untuk makan makanan saya. Sekalipun makanan itu saya beli dari warung nasi padang, kalau saya yang beli, saya akan merasa itu adalah masakan hasil saya *like a boss -,-* meskipun kadang (read : sering) saya tidak memakan apa yang orang lain masak, dengan alasan yang mungkin dianggap layak terima : maaf, saya tidak makan itu.
Saya akan murka, seperti yang biasa saya lakukan kepada Ayah saya (?) Secara turun temurun, mungkin sifat memilih makanan itu diturunkan Ayah (yang sialnya) ke saya (dan bukan ke kakak saya, huft) Saya curiga, jangan-jangan ibu saya itu seorang cenayang. Kenapa dia mampu membaca situasi dengan jitu. Kenapa feeling "hari ini masak apa ya" -nya hampir selalu tepat dengan kondisi perut kami yang sedang ingin makan apa. Dan kenapa masakan ibu saya selalu bisa diterima mulut Ayah dan saya yang sebenarnya pilih-pilih makanan? Iya, mungkin ibu saya adalah cenayang.
Ibu saya pernah meninggalkan rumah selama satu bulan lamanya. Selama sebulan lamanya -yang bagi saya rasanya seperti satu tahun!- saya harus mencoba memeriksa apakah saya seorang cenayang juga, atau bukan. Kasusnya, saya berhadapan dengan Ayah, yang kadang sulit ditebak, mau makan apa sebenarnya beliau. Dan bodohnya, saya seringkali salah masak masakan. Dan ujung-ujungnya, saya harus makan sendiri. Hiks. Ditolak. Oh jelas saya murka. Piring yang sudah saya siapkan, seperti di sinetron-sinetron, akan saya banting (?) secara tidak manusiawi, prang prang prang. Bukan karena saya suka suara piring, tapi saya hanya mau menunjukkan, ini loh Ayah sayang, saya lagi marah nih Yah. Yang kemudian Ayah akan sok-sok -an baik macam sedang ngerayu orang. Maaf, anak gadismu tidak mempan dirayu, kira2 begitu jawabannya.
Atau ketika saya masak (sesungguhnya jarang sekali masak) dan Ayah memuji hasil masakan saya, Oh meeen! Rasanya seperti minum air es di suhu 40 derajat celcius. Nyeees! Orang yang tidak banyak suka masakan orang kecuali masakan mama, seperti Ayah ini, bisa suka masakan saya itu ajaib untuk level orang yang tidak pandai masak macam saya. Huahahaha.
Dan saya jadi harap-harap cemas. Di kehidupan mendatang (?) Saya berharap bisa hidup damai dengan orang-orang yang memakan apa saja. Atau kalau tidak, saya akan memutar otak 4x lebih berat dibanding saat ini untuk menentukan "ya Tuhan, saya harus masak apa". Kan kasian, saya bisa jadi cepat tua.
Masak adalah pekerjaan yang sangat misterius untuk saya. Sambil melihat dan memandangi orang memakan masakan itu, saya seringkali berkomat kamit "semoga enak semoga enak" meskipun tidak jarang yang mengernyitkan mata, lalu senyum terpaksa, "enak kok", uuummm,,, buat saya senyum terpaksa itu adalah pekerjaan bodoh.
Dicoba dan latihan terus saja, belajar masak, supaya senyum orang2 yang makan makanan kita tidak lagi senyum sinting untuk menghindari murkanya saya. Haha. Yang penting, makanlah dengan ikhlas, hahaha.
Oya, dan saya tidak pandai membuat closing suatu tulisan. Sebenarnya ingin diakhiri dari tadi, bahkan dari awal menulis judul. Tapi jadinya malah sepanjang dan setidak penting ini.
Tuhkan, Anda pada akhirnya akan memutuskan untuk tidak berpikir apa-apa. Hmmm.