Wanita berpendidikan adalah kriteria yang menggiurkan. Banyak wanita yang tidak bosan bersekolah, belajar, melahap buku-buku tebal, mengikuti ujian, menyusun penelitian, mendapat gelar, kemudian bersekolah lagi, belajar lagi, melahap buku-buku (lebih) tebal lagi, dan begitu seterusnya. Wanita berpendidikan terlihat lebih sexy dibanding wanita sexy (?). Itu sebabnya, pendidikan adalah investasi jangka panjang. Ia melahirkan ilmu, sesuatu yang berbobot, istimewa, mengesankan, dahsyat dan meningkatkan derajat, harkat serta martabat. Kecuali efek kesombongan yang sebenarnya bukan anak kandung ilmu, seluruh dampak dari ilmu adalah kebajikan.
Begitupun saya, disini, terperangkap dan teriris hatinya oleh pahitnya mencari ilmu. Ilmu yang dipelajari pun sebenarnya hanyalah sepersekian dari sepersekian sepersekiannya sepersekian keseluruhan ilmu yang ada. Tapi, sudah berapa kali saya -katakanlah- diperas dan dicabik-cabik emosinya, dibuat frustasi, dan digairahkan rasa ingin banting ini itu oleh ilmu yang ingin saya perdalam ini. Sebuah proses belajar yang luar biasa memukau dari hari ke hari, dari tingkat ke tingkat, dari ujian ke ujian. Sebuah proses yang membuat saya menyadari bahwa sesuatu yang berharga itu memang SANGAT LAYAK untuk diperjuangkan.
Kita sudahi bahasan tentang pentingnya pendidikan. Ini saatnya saya menceritakan kehidupan per-co-ass-an. Sudah 6 bulan lamanya saya berjuang untuk tetap hidup normal dan bahagia menjadi seorang koas. Koas FKG, sebuah sistem yang apa adanya, dan tidak menuntut muluk-muluk pada ambisi mahasiswanya. Mahasiswa yang berapi-api untuk cepat lulus akan cepat lulus dan mahasiswa yang ingin ngadem terus di rumah sakit, akan lambat lulus. Jadi saya sering bingung dengan teman-teman sepermainan saya yang sedang menempuh koas kedokteran umum, selalu bilang "aku lagi di stase (blablabla--hampir semua stase -,-) gak mungkin bisa izin cuti". What? Lha gue...."gak masuk sebulan juga ya terserah lo aja." (kecuali beberapa stase). Kelulusan koas bukan dilihat dari seberapa rajin datang, say hello, atau menjenguk rumah sakit. Tapi dari requirement kasus yang diberikan. Itulah mengapa angkatan 2004 masih ada yang belum lulus dokter gigi. Kebayang, 11 tahun ngapain aja? Saya sih enggak.
Menurut rencana awal, pendidikan koas diberikan dalam 3 semester. Entah ada angin apa, rencana itu seringkali molor, dan hanya seperintil makhluk yang bisa lulus hanya 3 semester. Ceritanya akan melegenda, menjadi topik gosip kami para koas yang butuh motivasi dan role model.
Kami diharuskan mencari pasien untuk tipe kasus yang diberikan. Tidak perlu saya deskripsikan sulitnya seperti apa, karena saya bukan artis dengan follower ribuan yang sekali posting "ada yang mau jadi pasien?" 12893 comments"saya mau dong kak" muncul. Belum lagi peristiwa PHP dari pasien yang tidak jadi datang, yang ribet, yang tidak kooperatif, yang tidak mengerti keluh kesah gundah gulana hati para koas. Dan jangan lupa, pasien lebay yang baru disentuh giginya sedikit sudah teriak kesakitan, jingkrak-jingkrak seoalah-olah kami sedang menikam jantungnya, padahal giginya sedang tidak diapa-apakan. Rasanya ingin memulangkan pasien seperti itu dengan keadaan damai. Pergi ke dokter gigi juga butuh kekuatan psikologis, kan? Kami bukan algojo, kami memeriksa dengan cinta, kelembutan dan kasih sayang *pppffftttt.
Ah ya! setiap pekerjaan kami selalu diawasi oleh dokter yang berwenang. Tapi percayalah, keberuntungan selalu ada bagi mereka yang ditutori oleh dokter-dokter berhati malaikat. Beberapa dokter punya style mendidik yang berbeda, nyentrik, dan... ya begitulah. Saya sedang tidak selera membahas tentang dosen. Biarkan mereka dengan style nya, dengan tingkat kesulitan meng-acc-kan pekerjaan, dengan peraturannya. Jadi, ada koas yang cepat lulus karena selalu dapat dosen yang baik hati, ada yang pekerjaannya sulit maju karena direbetkan oleh kebijakan dosennya. Percayalah, banyak dosen yang berbeda prinsip, jadi kami harus menelan bulat-bulat didikan "dokter X inginnya gini, tapi kalau ke dokter Y harusnya kaya gitu". Kami sudah ahli untuk berbesar hati menerima perbedaan.
Kehidupan koas seperti misteri. Kadang saya butuh ketenangan untuk memikirkan masa depan saya. Saya sangat mengagumi ilmu ini, ilmu yang akan membantu meningkatkan kepercayaan diri seseorang secara drastis. Bagaimana tidak, kadang orang dengan gigi berantakan akan malu tersenyum, apalagi ditambah bau mulut. eerghhh. Dokter gigi hadir untuk memberikan senyum terbaik, kesehatan tubuh secara paripurna, dan blablabla --ini bukan promosi.
Tapi, kenapa saya tetap merasa beruntung terjerumus dalam pahitnya mencari ilmu bidang ini? Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Menikmati peran sebagai (calon) dokter gigi, bermain dengan seni, teknik, dan proses penyembuhan. Ah iya, mari kita teriakkan : sesuatu yang berharga memang sangat layak untuk diperjuangkan.
Selamat berjuang. Semoga selamat sampai tujuan.