Aktivitas weekend saya selama empat bulan terakhir cukup
melelahkan. Kesana kemari, menelusuri jalanan Bandung mencari
"jodoh". Saya baru tahu, ternyata mencari rumah lebih sulit dari
mencari pasangan. Puluhan rumah sudah kami lihat-lihat. Beribu-ribu kilobyte
sudah kami habiskan untuk membuka setumpuk iklan jual rumah. Sampai detik saya
menulis ini, saya belum berjodoh. Belum ada rumah yang membuat saya kasmaran sampai
berkeinginan untuk memikirkannya siang dan malam.
Pernah ada satu hari, saya melihat iklan rumah dengan luas tanah
besar namun harga miring, saya langsung jingkrak-jingkrak seperti orang yang
baru dapat hadiah umroh gratis. Saya langsung suruh cowok saya telepon orang
propertinya. Singkat cerita, sepulang saya klinik, sekitar jam 5 kami
berangkat. Namun, harapan saya harus mati sebelum bunuh diri. Ternyata rumah
yang saya sudah imajinasikan berlebihan itu sudah kosong --yang kata mas-mas
propertinya-- "beberapa bulan". Saya tidak yakin "beberapa
bulan" cukup mendeskripsikan dengan tepat lama waktu tumpukan debu di
lantai dan langit-langit terbentuk. Karena hari mulai gelap, sialnya lampu
rumah sudah tidak banyak berfungsi, jadi kami harus menelusuri rumah luas tanah
besar itu dengan menggunakan senter hape. Saya tidak suka menonton film uji
nyali, karena saya merasa kedamaian tidur dan ke kamar mandi sendirian saya
bisa terganggu. Hari itu, saya seperti sedang syuting film horor. Saya harus
akui, bulu kuduk saya merinding. Jangan tanya apa respon saya soal rumah
itu.
Seperti membuka pintu rumah yang sudah lama ditinggal kosong,
membuka kembali blog ini terasa memberikan kengerian yang sama. Berbulan-bulan
blog ini dibiarkan kosong, membuat saya merasa takut untuk kembali menulis
sesuatu, sampah sekalipun. Berkali-kali saya mencoba menulis sesuatu, tapi saya
merasa terlalu idealis. Saya berusaha menulis sesuatu dengan tema yang menarik,
bahasan yang tajam, sehingga menghasilkan tulisan yang tandensius. Boro-boro
bahasan yang tajam apalagi tulisan yang tandensius, mencari tema yang menarik
saja cukup menghabiskan setengah jam saya melongo depan laptop.
Awalnya saya memutuskan untuk menulis hal yang tidak menarik dan
tidak penting, seperti “kisah perjalanan Detin Nitami selama 2015” yang ditulis
dalam bahasa formal. Tapi sepertinya itu bukan ide yang baik. Karena kata Ali
r.a, jangan beri tahu tentang dirimu, temanmu tidak membutuhkannya dan musuhmu
tidak mempercayainya. Jadi saya tidak akan cerita kalau saya ini baik hati,
ramah, anggun, dan rendah hati *BWAKAKAKAK* saya hanya mencoba menuliskan keistimewaan
2015 bagi saya. Di dalamnya hanya ada beberapa momen-momen luar biasa yang
merubah arah hidup seorang saya secara keseluruhan. 2015 adalah tahun fantastis
dan tahun serba gelar baru. Saya bukan tipikal orang penggila gelar yang hobi
memanjang-manjangkan nama, tapi mendapat gelar Nyonya, S.KG dan Koas dalam satu
tahun adalah hal yang warbiasyaaaahhh. Sebuah komposisi yang mustahil untuk
tidak bersyukur karenanya.
Dan 2016 sudah datang. Ekspresi “yang bener looo???” adalah
gambaran paling tepat untuk menjelaskan situasi kondisi hati dan psikologis
saya. Itu artinya waktu yang ada untuk menyelesaikan apa yang harus
diselesaikan semakin mendesak dan.... harus diakhiri dengan akhir yang baik.
Resolusi dibuat, yang menyedihkannya adalah seringkali resolusi hanya tinggal
resolusi. Yang setiap akhir tahun tidak sengaja membaca hasil tulisan resolusi
awal tahun diikuti pertanyaan gila “serius gue pernah nulis ini???”
Percayalah, semenjak saya menjadi sedikit intelek, saya
selalu membuat resolusi awal tahun. Dan hampir semua tahun, saya tidak memenuhi
target saya. Dan target itu, dengan bodohnya terus saya tingkatkan di
tahun-tahun berikutnya. Ibarat saya menargetkan untuk punya uang 5 milyar (INI
HANYA ILUSTRASI HAHAHA) di tahun 2015 yang
tidak saya capai, 2016 saya malah membuat target punya uang 20 milyar. Kisah
nyatanya seperti ini : target 2014 saya nambah hafalan setengah juz, kenyataannya justru saya malah mengacaukan
hafalan saya yang ada. Di 2015, saya dengan pede nya menulis lagi resolusi
hafalan ditambah 2 surah lagi. Padahal hutang hafalan tahun lalu nya belum
dilunasi. Atau ketika menulis resolusi 2014 berat badan xx kg, di 2015 target
itu ditingkatkan lagi padahal xx kg di 2014 belum tercapai, di 2015 targetnya
menjadi xx-2 kg. Kenyataannya diet always starts tomorrow. Itulah arti resolusi
hanya tinggal resolusi. Sebuah tindakan menyedihkan, tapi mayoritas orang
melakukannya. Kamu juga ya? Haha.
Di 2016 ini, atas bimbingan Pak Ryan, saya disuruh untuk
buat resolusi jangka pendek, seperti target setiap bulan—yang kemudian diubah
menjadi kebiasaan, sehingga tanpa sadar di akhir tahun kebiasaan ini membawa
kita pada target yang lebih besar. Ini teoritis sekali. Memang sangat teoritis
sekali. Duh.
Yang terpenting, hasil musyawarah dan kesepakatan bersama
Pak Ryan, kami memutuskan untuk memprioritaskan silaturahim sebagai target 2016
kami. Menjalin tali tali yang hampir terkoyak, tercampakkan, dan compang
camping, karena kami adalah makhluk-makhluk yang hina dan kurang peka, sehingga
silaturahim adalah tebusan dosa bagi ketidakpekaan kami selama ini. Seringkali saya ketinggalan info atau tidak peka pada momen penting seseorang. "oh dia sekarang kerja disini?" "oh dia lanjut kuliah disana?" "oh dia udah mau nikah sama si itu?" "oh dia udah lulus?" "dia sidang hari ini? oh. (yaudah)" dan yang paling parah "oh selama ini dia teh kuliah disana?" padahal temen-temen deket semasa SMA :( gak ngerti kenapa ada orang cuek parah kaya saya gini. Bawaan lahir atau gimana sih... Orang kayak saya pantesnya jangan ditemenin. Hiks. Dan hal itulah yang akan kami perbaiki di NYC -new year ciecie- ini. Begitulah.