Suatu hari, sesampainya di laut, kuda mencari tuannya, dan
semut semut hitam besar menertawakan sikap kuda
Di pasak tiang menggantung jubah-jubah tua tak bertuan,
pohon-pohon kelapa tak henti melambaikan diri dan pasir-pasir kecoklatan
menggigil terhempas ombak yang membuncah ruah senja itu. si kuda setia menjaga jubah tuannya. Yang
ditunggu tak kunjung datang.
Angin malam lantas menggoda, sebab sinar matahari sudah
ingin beristirahat. Desir ombak kian jelas, hingga ujung sepatu kudanya
terkikis air asin itu, tapi hatinya terasa sudah lebih dahulu membeku.
“tetaplah disini menunggu kedatanganku” adalah sabda si tuan
ketika terakhir kali meninggalkan kudanya sendirian. Tuan tahu akan ada badai,
dia memberi kesempatan kudanya untuk memilih. Menunggunya atau
mempersilakan berlari mencari naungan.
Dan kesetiaan kini butuh pengujinya. Si kuda dengan
harap-harap cemas masih menanti kembalinya si tuan. Ketika alam kian memberi
isyarat, hatinya mulai goyah, kini ia payah. Hatinya bergemericik,
tenggorokannya kian mencekik. Ia hampir pada putusan untuk berlari.
Namun, ia mengingat apa yang telah dilakukan dan diberikan
tuannya selama ini, mengingat bagaimana ia dibesarkan dan dihidupkan, nuraninya
tidak bisa bergeming, menolak fakta, apalagi membalikan sejarah. Bahwa rasa
berterimakasih akan melekat erat dalam memori seseorang, butuh pengorbanan
memang, bagaimana hari-hari si tuan disibukan oleh kebutuhan kudanya, namun
ganjaran atas apa yang diberi adalah lebih bertingkat untuk setiap apa yang
didapat kembali. Bahkan terkadang, diluar ekspektasi seorang makhluk.
Masa penantian itu berakhir sudah, saat tuannya telah kembali.
Perjuangan sang kuda melawan dinginnya malam dan derasnya ombak membuahkan
hasil : bahwa sang tuan kini lebih mempercayainya. Setiap kelelahan, akan ada
ganjarannya. Dalam bentuk apapun. Bahwa hati nurani yang paling bening
sejatinya akan menolak penghianatan. Bahwa keistiqomahan dalam segala masa,
butuh sisi pengujinya…