Beberapa hari sebelum menikah, calon-saya-waktu-itu mendapat tawaran mengisi
acara kemahasiswaan di Maluku pada 11 Mei 2015. Itu berarti tepat dua hari
setelah hari pernikahan kami. Berhubung kami belum merencanakan apapun tentang
sesuatu yang orang-orang bilang bulan madu, calon-saya-waktu-itu mengajak saya
untuk sekalian jalan-jalan di Maluku. Saya yang waktu itu tidak punya pilihan
apa-apa, akhirnya mengiyakan, karena sebenarnya jiwa raga saya sedang
ditarik-tarik oleh deadline penyelesaian skripsi sarjana. Maklum, saya mah
orangnya agak-agak ambisius mengakhiri apa yang bisa dicicil-cicil dari masa
studi ini hahahaha.
Maka, dengan segala kebutaan tentang Maluku dan segala
isinya, kamipun berangkat tengah malam dari bandara Soetta menuju bandara
Pattimura dengan diwarnai adegan muntah-muntah sepanjang perjalanan, karena
badan saya diforsir habis-habisan. Mulai dari H-2 nikah, saya masih belibet
dengan penelitian, bolak-balik rumah-jatinangor, ditambah perawatan pra nikah
yang membuat saya masuk angin karena harus berendem di air susu berjam-jam
sampe ileran, malem sebelum nikah saya mencret-mencret sampai harus ikut ke wc
tetangga karena wc di rumah penuh sama keluarga, hari H nya saya harus berdiri
dengan tegar diatas sepatu ber-hak 12cm tipis yang tidak pernah saya gunakan
sebelumnya selama hidup saya, alhamdulillah semuanya lancar.
Sesampainya di Bandara Pattimura, ada perwakilan panitia
acara yang sudah menunggu kami. Acara diadakan di Masohi, Maluku Tengah, Kepulauan
Seram. Perjalanan dari bandara menuju kesana? Beuh. Panjang.
Diawali dengan perjalanan dari bandara menuju pelabuhan
Tulehu, Ambon, menggunakan mobil yang disediakan panitia sekitar 30 menit. Sepanjang
perjalanan terlihat rumah-rumah penduduk yang masih berkubu-kubu sesuai agama.
Mayoritas penduduk kota Ambon adalah penganut kristiani, sepanjang jalan kita
akan melihat kayu berbentuk salib setinggi 2 meter dipancangkan di depan setiap
rumah mereka. Beberapa meter kemudian
kita akan melihat kumpulan rumah tanpa salib, itu pertanda pemukiman warga
muslim. Beberapa ratus meter kemudian perumahan kristiani, lalu perumahan
muslim lagi. Jadi semuanya sudah ada wilayahnya masing-masing. Ambon sering
dilanda konflik agama, sampai terjadi kerusuhan. Pemerintah Ambon berupaya
untuk terus meningkatkan kehidupan toleransi beragama. Kepala daerah Ambon dan
wakilnya selalu berbeda agama mungkin sebagai representasi agama penduduknya. Kalau kepala daerahnya
muslim, wakilnya kristiani, kalau kepala daerahnya kristiani, wakilnya muslim. Haha
unik ye.
Lanjut naik kapal
cepat dari pelabuhan Tulehu, Ambon, menuju pelabuhan Amahai yang jam keberangkatannya hanya 2 kali dalam
sehari, yaitu pukul 9 pagi dan 3 sore dengan lama perjalanan 3 jam, kalau
ketinggalan, akses lain menuju Masohi adalah menggunakan Ferry dengan
perjalanan yang lebih lama yaitu 5 jam!
di belakang : kapal cepat dari Tulehu - Amahai |
Sampai di pelabuhan Amahai, ke pusat kabupaten Masohi harus
menggunakan kendaraan sekitar 1 jam. Kita bisa sewa mobil yang ada di daerah
pelabuhan. Tapi berhubung kami dijemput oleh panitia, jadilah kita naik mobil
panitia. Dan sampailah kami di Kabupaten Masohi, Maluku Tengah. Kota
yang....tenang... (atau sepi ya?). “saking sepinya Masohi, kabar pemilihan
presiden kemarin saja kami tidak tahu” kata supir yang mengantar.
Ada yang sangat berbeda dari seminar-seminar yang biasa saya
ikuti di Bandung *maklum, anaknya dulu pemburu sertifikat gitu deh hahaha* dibanding
dengan di Maluku. Setelah suami selesai mengisi acara tentang dakwah kampus
untuk Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) wilayah Maluku, sesi
pertanyaan dibuka. Kalau biasanya di Bandung hanya tiga sampai empat tangan
yang terangkat untuk bertanya, disana.... hampir semua tangan terangkat. Sambil
ribut teriak “saya dulu..saya dulu. Heyyy moderator! Lihat saya dulu...” sang
moderator dengan tenangnya berkata, “tenang saudaraku..kita ulangi, semua
tangan di bawah. Hai kamu! Turunkan dulu tanganmu. Hitungan ketiga baru kalian
angkat tangan.” Hampir semua tangan kembali terangkat, baik pria maupun wanita.
Beberapa pria sampai maju ke depan podium, mengerumuni moderator yang sampai
harus turun panggung hanya untuk memilih siapa yang mendapat kesempatan
bertanya. Bayangkan. Akhirnya sang moderator mengeluarkan kalimat saktinya, “Saudaraku..
adab lebih utama daripada ilmu! Ta’limul adab qobla anta ta’limul ilmi! Jaga
adab! Jaga adab!Tenang semuanya..tenang!” lima belas menit terbuang hanya untuk
berunding bagaimana teknis yang tepat untuk sesi pertanyaan. Di depan sana, suami
saya malah asyik menyantap kue-kuenya.
Setelah selesai acara, kami bingung hendak kemana. Hari itu,
kami baru menikah 2 hari yang lalu. Tanpa perencanaan untuk “jalan-jalan-pasca-nikah”.
Salah seorang panitia wanita menghampiri karena mungkin kasian liat muka saya :
pengantin-baru-butuh-liburan. Dia menyarankan untuk berkunjung ke Pantai Ora, di
pulau Seram, dekat dengan Masohi . karena tidak punya opsi lain, dan berhubung
sedang ada di Masohi, maka dengan semena-mena saya mengiyakan tawarannya. Karena
kami bukan backpacker, jadi kami harus menyewa satu mobil dengan harga 1,5 juta
untuk sehari. Pingin nangis berbie.
Kami berangkat ditemani 2 orang pemandu, Matu dan Bonang. Sebelum
berangkat, ternyata ada 3 orang backpacker lain yang ingin ambil keuntungan dan
keberuntungan dengan menumpang mobil sewaan kami. Jangan berharap terlalu tinggi pada petualang
seperti mereka, didesak bagaimanapun juga mereka akan teguh bersikukuh pantang
mundur untuk mengeluarkan biaya transportasi seminim-minimnya dengan berbagai
macam alasan, seperti alasan mereka hanya ikut perginya saja, pulangnya tidak
ikut. Jadi mereka hanya menyumbang 100ribu perorang. Jadilah kami yang bayar
1,2juta sisanya. “ikan-ikan dan semua di Masohi
ini murah Caca (panggilan kakak untuk wanita di Ambon) yang mahal cuma
satu, TRANSPORTASI.” Kata Matu. Lumayanlah,
perjalanan 3 jam menuju dari Masohi menuju Pantai Ora lebih ramai dan seru.
saya-suami-Matu-dan-kawanan-orang-orang-itu |
Setelah sampai di perbatasan, kami harus menyebrang
menggunakan perahu kecil untuk sampai di Pantai Ora. Harganya lupa berapa,
kalau gak salah 300ribu untuk menyebrang--yang kalau saya pejamkan sebelah
mata, jaraknya cuma segede upil. Deket banget, tapi gak mungkin dong berenang nyebrang
pulau. Saat pulang, orang yang sama akan menjemput kami kembali menyebrang,
jadi uangnya dibayarkan setelah kembali dari Pantai Ora.
menyebrang pulau |
Disana kami menginap satu malam. Pantainya masyaAllah
cantik. Kami bisa melihat trumbu karang dan ikan-ikan hanya dengan berjalan
kaki 2 meter dari pantai. Kamar-kamar yang langsung di atas laut sudah penuh terisi, jadi kami terpaksa ambil kamar di pinggir pantai.
tempat kami menginap |
sunset |