Banyak kekhwatiran muncul ketika kita menjadi orang tua baru. Mayoritas kekhawatiran berkutat tentang masa depan si anak, tapi tidak sedikit dari kita mengkhawatirkan masa depan kita sendiri, sebagai orang tua.
Hal yang sangat membuat saya khawatir tentang masa depan saya sebagai orang tua adalah, apakah jika anak saya sudah besar nanti, saya akan mengungkit-ungkit apa yang sudah saya lakukan hari ini terhadapnya?
"Bara, Mama mengandung kamu, melahirkan kamu dengan susah payah, membesarkan dengan memberikan yang terbaik untuk kamu, kalau Bara sakit, mama yang jaga, Mama bawa-bawa Bara meskipun mama harus kerja............ Gak kasihan kah Bara sama mama sekarang? mama minta uang bulanan......." adalah contoh kalimat yang sangat sangat sangat saya khawatirkan keluar dari mulut saya saat dia besar nanti. Bukankah, mengandung, melahirkan dan membesarkan anak adalah hal yang sudah semestinya dilakukan orang tua yang menyayangi anaknya? Bukankah semua ibu memang akan melewati tahap mengandung dan melahirkan yang melelahkan? Kita melakukannya secara naluriah, dan berharap bernilai ibadah, kan? Maka, untuk apa kita menagih anak untuk hal-hal baik yang telah kita berikan untuknya?
Saya tidak kuat melihat fenomena orang tua yang mengungkit kebaikannya hanya untuk menagih imbal balik atas apa yang dilakukannya dahulu -lha, kan memang sudah tugas orang tua?
Kita memupuk kedekatan dengannya, mulai dari jantungnya ikut berdetak di rahim kita hingga dia tumbuh besar, dan memiliki hidupnya sendiri. Sebuah proses yang panjang -dan alamiah, karena memang begitulah seharusnya. Jika saya tidak dekat dengan anak, bukankah sebaiknya sayalah yang berkaca apa yang salah dari pengasuhan saya, yang mengakibatkan jika anak sudah besar nanti, dia canggung dengan ibunya sendiri. Bukan dengan terus membuatnya merasa bersalah (guilt trip) dengan mengungkit-ungkit segala hal yang memang sudah semestinya kita lakukan sebagai orang tua.
Entah kenapa, saya selalu percaya, kedekatan yang terbangun karena kita hadir dalam hidup si anak akan membekas di memori anak, membuatnya mengingat tentang diri kita terhadap apa yang terjadi dalam hari-harinya, tanpa perlu kita ungkit-ungkit. Ibu saya tidak pernah mengungkit betapa sulitnya mengasuh saya dahulu, dan karena kedekatan yang terbangun secara alamiah antara saya dan ibu saya itulah yang membuat saya -tidak bisa dan tidak akan- melupakan pengorbanan apa yang dilakukannya untuk saya.
Saya jadi teringat puisi Khalil Gibran yang terkenal :
Mereka lahir lewat engkau, tetapi bukan dari engkau, mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu, namun jangan sodorkan pemikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri. -Khalil Gibran
Anak kita bukanlah milik kita, ia milik Penciptanya. Kita hanya dititipi amanah, yang tidak berhak atas penjajahan jalan hidupnya. Kita bukan penanam modal yang berinvestasi dan suatu hari menagih dan mengungkit apa yang kita tanam. Kita hanya menjalankan peran atas kesempatan yang diberikan Allah untuk beribadah di ladang ini sebaik-baiknya. Semoga kita terhindar dari rasa pamrih atas peran sebagai ibu, dan menghanguskan nilai ibadah kita sebagai orang tua.