Maka, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Bismillah,
Ayat berulang dalam surah
Ar-Rahman ini kembali mengingatkan saya akan satu kegiatan unik di rumah
belajar Ciroyom. Malam hari, 17 Maret 2012, selepas magrib, saya dan seorang
teman saya mengunjungi rumah belajar (rumbel) Ciroyom untuk memfiksasi satu
kegiatan volunteer doctors berkenaan dengan rumbel ini. Sebelumnya, jujur, saya
belum pernah datang ke tempat seperti ini, tempat perkumpulan anak-anak
jalanan, terletak di parkiran atas gedung pasar Ciroyom yang fungsi aslinya
sudah tak banyak digunakan lagi.
Lokasi yang lumayan asyik untuk kegiatan
perkumpulan, sebuah masjid berukuran sedang berdiri disana juga terhampar
halaman luas, khas tempat parkir. Memasuki ruang dalam masjid lalu disambut
riuh anak-anak yang berlari-lari tak beraturan, saling mengejar, saling
tertawa, mereka lepas, apa adanya. Meskipun saya sama sekali tidak terbiasa
dengan penampilan mereka, manusiawi saya berhasil menuntun berfikir bahwa
mereka sama dengan saya, mereka makhluk penyempurnaan ciptaan Sang Khalik,
mereka manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Saya duduk, mengambil
ancang-ancang mendekati relawan lain yang entah siapa dan darimana asalnya. Malam-malam
begini, mereka masih setia menemani puluhan anak jalanan ini, membungkusi
kue-kue dalam satu kardus kecil cantik, merapikannya lalu menyusunnya, ada apa
sebenarnya? Selagi teman saya berdiskusi dan beradvokasi dengan si empunya
rumbel terkait kegiatan kami esok harinya, saya yang sebenarnya hanya menemani,
memilih untuk mendekati personal anak-anak jalanan itu.
Ketika duduk mendekat kearah
pintu keluar, saya bertanya pada seorang anak rumbel itu, “ini mau ada apa de,
banyak kue-kue?” mereka menjawab, “kita mau tampil, Ka.”Oh ya, saya ingat bahwa
malam itu akan diadakan teater pementasan purnama, mereka akan menari dan bernyanyi.
Menarik, sayang terlalu malam, rumah sudah memanggil-manggil minta segera
pulang.
Dengan jalan menunduk, seorang
anak laki-laki membuka lemari di sudut kiri masjid, membukanya dan mencari-cari
sesuatu. Dia berhasil membawa keluar sebuah buku gambar dan pensil lalu
kemudian berjalan mendekat. Seraya dia menghempaskan badannya, duduk dengan
ringan tepat di hadapan saya. Saya tersenyum, tapi tidak dibalas. Dia kembali
menunduk, membuka-buka halaman demi halaman buku gambar, mencari kertas yang
masih kosong. Saya mengira umurnya sekitar 9 atau 10 tahun, rambutnya
acak-acakan, saya tidak berani mengira kapan terakhir dia mandi.
Dengan perlahan, si anak
menggoreskan pensilnya pada kertas membuat lima segitiga bersambung, saya
mengira itu adalah gunung. Lalu dia menambahkan diujung segitiga yang kelima
dua buah garis yang semakin lama semakin membesar kearah bawah, saya mengira
itu adalah jalan. Lengkap dengan garis-garis tenganya. Setelahnya, dia menoleh
ke arah saya, menyodorkan pensilnya dan menyuruh saya membuatkannya sebuah
rumah dengan perkataan yang terbata-bata, belum lancar. Saya menggambarkan
sebuah rumah dan berkata padanya,
“mau rumah tingkat berapa?”
“2 aja ka.”
“ini teteh contohin satu, kamu
buat disebelahnya ya.” Tidak digubris, dia tidak mau.
“Yaudah, gambar gentengnya aja. Garis-garis
kecil-kecil sini.”
“ga mau. Ka, bikinin kebun
stroberi.”
“ga mau. Buat dulu gentengnya.”
“ah! Ga mau. Cepet ka buat kebun
stroberinya.”
Hm, ini anak bandel ya, ga nurut.
Kemudian saya membuat garis-garis horizontal dan vertikal membentuk atap rumah
di lantai satu rumah gambaran saya.
“nih, tinggal gini. Tarik...tarik...sreeet...sreeet..”
saya mencontohkan. Kemudian saya mengembalikan pensil kepadanya, dan dia akhirnya
mau membuat garis-garis atap di lantai dua. Dengan perlahan dan lumayan
acak-acakan, saya lega, setidaknya dia mau menurut.
Lalu dia minta dibuatkan kebun
stroberi, saya bingung mau gambar apa. Akhirnya saya membuatkan sawah khas
gambar anak sd, berpetak-petak lengkap dengan tanda ceklis yang melambangkan
padi tumbuh. Saya dengan bangga memperkenalkan, bahwa gambaran itu adalah kebun
stroberi.
“Ayo, kasih ceklis ceklis disini,
garis-garis aja.”
Ya. Dia mau.
“O ya, namanya siapa de?” hening.
Tidak ada jawaban. Dia khusyu membuat garis-garis. Menunggu dia selesai dengan
garisnya, saya kembali bertanya namanya, dia jawab “Yudi”.
“ka, bikin matahari itu gimana?”
“bulet aja de.”
“gambarin ka.”
Akhirnya saya membuat lingkaran,
lengkap dengan mata dan senyum melengkung di dalam lingkaran. Semakin melunjak,
si anak menyuruh saya membuat awan. Saya membuatkan satu, kemudian menyuruhnya
melanjutkan, dia tidak mau. Lagi-lagi menyuruh saya menggambarkan awan yang
banyak untuknya. Ah, dia tidak akan belajar kalau begini. Saya berfikir dia
anak malas, yang ingin gambarnya bagus tapi tidak mau mengerjakannya. Saya bilang
agar dia yang melanjutkan, tapi dia malah acuh dan mendumel memaksa saya
menggambar, dengan jawaban yang sama “ga mau, cepet gambar ka”
Saya menarik tangannya,
membenarkan pegangan pensilnya, lalu menuntunnya membuat awan. “Teteh ajarin
buat awan ya.” Dengan mata yang sepertinya tertarik, dia mengikuti setiap
gerakan tangan saya diatas tangannya. Awan dengan enam lengkungan berhasil kami
buat. Kami mencoba membuat awan lainnya.
“satu..dua...tiga...empat...lima...enam...”
setiap lengkungan awan kami berhitung. Lalu setelahnya saya melepasnya dan membiarkannya
menggambar sendiri.
“Ayo coba.”
Dan hasilnya... sebuah garis lurus,
bukan lengkungan.
“eh ka, gimana tadi?”
Saya menuntunnya kembali menggambar
satu lengkungan, dia melanjutkannya. Namun belum berhasil juga. Berkali-kali
dia hapus garis yang dibuatnya. Saya menuntunnya kembali. Lama kelamaan, dia
berhasil membuat lengkungan penuh awan. Hm, saya mulai berfikir.
Dia kembali meminta saya
membuatkan burung. Hal yang sama saya lakukan seperti tahap membuat awan. Menuntun
tangannya membuat burung, kemudian dia melanjutkan. Awalnya, lengkungan buruk
yang dia buat. Tangannya menekan pensil, namun lengkungannya masih tetap buruk.
Saya akhirnya sadar, dia bukan bandel dan tidak nurut ketika saya meyuruhnya membuat
awan, dia hanya tidak bisa membuat
lengkungan.
Pantas, dia menggambar gunung,
jalan, dan atap rumah yang hanya bergaris lurus, namun sangat kesulitan saat
membuat matahari, awan, atau burung. Saya menarik tangannya kembali,
membiasakannya membuat lengkungan. Dia mau belajar. Sampai akhirnya dia asyik
sendiri dengan lengkungan-lengkungannya.
Iya, ada banyak hal yang mungkin
menurut kita sepele. Di saat usia kita menginjak 9 tahun, kita sudah pandai
perkalian dua angka. Tapi sebagian orang bahkan belum bisa menambahkan angka. Dari
malam itu, saya sangat bersyukur bahwa Allah telah limpahkan saya kemampuan belajar
lebih cepat dibanding anak ini. Pengalaman langsung memang selalu membekas di
memori kita, bagaimana rasanya tertampar karena sering mengeluhkan kekurangan
diri, memandang keatas, membandingkannya dengan kelebihan orang lain, padahal
tindakan tersebut merupakan sumber kepesimisan. Lalu lupa sebenarnya kita patut
bersyukur atas kelebihan diri. Sempat tak bisa berkata-kata, hanya menyaksikan
si anak membuat lengkungan demi lengkungan, lalu, nikmat Tuhan mana yang bisa
saya dustakan?
Dunia sosial kemanusiaan memang
ranah pembelajaran diri sebagai makhluk Tuhan. Dimana kelebihan dan kekurangan
akan saling melengkapi. Ranah tempat kita menemukan banyak sarana untuk
bersyukur, lalu merasakan sendiri nikmatnya rasa syukur itu. Sesekali, rasanya
seperti dada terhimpit, dan mata mulai tak sanggup menahan laju air, mereka
hanya belajar bagaimana cara untuk hidup dan mencari makan untuk kepastian esok
perutnya bisa kenyang. Lalu kita lupa untuk berbagi. Manisnya berbagi
didapatkan dengan memberi, hal itu adalah sebuah keniscayaan bahwa kita akan
mendapatkan lebih banyak dari apa yang kita beri, mungkin tidak saat ini, tapi Allah
tidak pernah lupa mencatatnya.
Pelayanan yang kita berikan kepada sesama itu sesungguhnya sewa yang kita bayar untuk tempat di bumi ini. Jelaslah bahwa maksud dunia ini bukanlah untuk memiliki dan mendapatkan, melainkan untuk memberi dan melayani.
Kemudian
saya meninggalkannya malam itu, si anak laki-laki kecil berpakaian kotor yang bahkan, tidak bisa membuat lengkung.