ketika saya mulai menulis ini, langit sedang bersahabat. tidak terik, juga tidak terlihat muram. teduh. orang-orang bergegas menjemput rezekinya. semua berdamai pada alam, maka alam berdamai dengan semua. langit mengintip, lega, katanya.
ketika saya baru akan selesai menulis ini, dunia jadi kacau balau. orang-orang mulai naik pitam, udara memanas, ubun-ubun mereka mendidih. satu membentak, lainnya menggertak. kerut di atas mata saling beradu. Berbicara tidak lagi berlandaskan kebenaran, sebab agama sudah jadi komoditi yang diperjualbelikan.
perang-perang dingin terjadi. kita bertempur dengan kebekuan hati masing-masing.
ketika saya benar-benar telah selesai menulis ini, saya merasa benar-benar muak oleh manusia-manusia yang ributnya lebih menyebalkan dari getah pohon yang menempel di lengan baju.
******
banyak yang ternyata lupa kesederhanaan.
semuanya cari eksistensi. kebaikan tidak lagi jadi urusan antara
dirinya dan tuhannya. sekarang, orang lain pun harus tahu.
padahal ikhlas bukan lagi bernilai ikhlas bila ia telah sampai
pada bibir-bibir yang melisankan. Ikhlas bukan lagi bernilai ikhlas bila
niatnya bukan lagi berlandaskan Tuhan.
popularitas yang kini diagungkan tanpa sadar telah dituhankan : menjadi tuhan-tuhan kecil.
sebagian haus pujian. Yang lainnya kikir memuji, merasa diri dewa dewi?
dari mana lagi kita harus belajar ikhlas? bicara kebenaran saja harus diumbar-umbarkan.
media publik yang ada dijadikan sasaran alasan, menipu diri, katanya menyebarkan kebaikan, faktanya sebatas pencitraan.
saya benar-benar ingin tertawa.
~
ternyata menertawakan diri sendiri
ikhlas bersemayam di hati, hati pemiliknya yang bersih, yang setidaknya mau berkaca jika hatinya mulai menjadi keruh. dan mau meminta hati yang baru, jika yang lama ternyata sudah mati
ah,