Ada hikmah di balik mogoknya motor. Singkat cerita ya kurang
lebih begitu. Siang itu, saya harus ke kampus padahal masih libur. Sehari sebelumnya,
hujan besar, jalanan depan rumah banjir semata kaki. Khawatir hari itu kembali
hujan, ibu saya sempat melarang. Tapi mana mungkin saya tinggalkan kegiatan
hari itu; mengurusi kegiatan kemahasiswaan, janji bertemu teman, dan liqo. Dan karena motornya mogok, saya harus pergi
menggunakan angkutan umum.
Selesai semua agenda, hujan membasahi jatinangor. Untung sedia
payung. Saya berjalan bersama Hansya menelusuri gerbang keluar Unpad. Lalu menaiki
angkot, menuju rumah. Hujan belum juga berhenti. Makin lama makin deras. Saya sms
ayah saya untuk menjemput di depan komplek perumahan, karena angkot tidak masuk
jalur perumahan, sedang rumah saya jauh dari pintu awal komplek.
Saya tinggal di komplek Kencana, komplek perumahan yang
terdiri dari sekitar 16 blok. Cukup luas,
dengan dua pintu keluar utama, orang sekitar menyebutnya “Pintu Satu” yang
dekat arah Dangdeur dan “Pintu Dua” yang dekat arah Majalaya. Satu persatu
penumpang angkot turun, bersisa 5 orang penumpang, satu ibu-ibu, empat remaja putri.
*****
From me,
To : Ayah (work)
Ayah jemput detin dong, udah di dangdeur ya.
From me,
To : Mama (work)
Ma, suruh Ayah jemput detin ya
From Ayah,
To : Detin Cute
Yah, nti klo udah smp pemasaran and hujan raat. Banjir,
Tunggulah dulu
Kringkringkring..
incoming call from Mama (work)
incoming call from Mama (work)
“ade udah dimana? Hujan besar de, banjir dalem di pemasaran.”
“banjir banget? Detin udah di deket rel kereta.”
“yaudah, coba ntar pelan-pelan kesana”
“oke”
Disconnect.
Hujan masih terus mengguyur. Jalanan banjir.
Ibu-ibu penumpang angkot, tinggal di blok 10 perum Kencana. Kebetulan
tukang angkotnya hendak pulang ke arah Majalaya. Si Ibu-ibu menawarkan jika
mengantar masuk ke perumahan, ongkos akan ditambah. Kebetulan kelima orang
penumpang semua tinggal di Kencana. Satu
orang tinggal di blok 1, si ibu beserta 2 orang anak perempuannya di blok 10
dan saya di blok 12. Akhirnya supir angkot setuju. Masuk melalui Pintu Satu,
nanti keluar di Pintu Dua, lanjut kea rah Majalaya.
Connect to Mama (Work)
“Ma, angkotnya masuk perum. Ga usah jemput”
“Alhamdulillah hehehe. Ntar turun di deket Lapang Liga aja.”
“oke”
Disconnect.
Melewati pemasaran…lulus.
Begitu belok ke Jalan Teratai Raya, yang menghubungkan pintu
satu dan pintu dua, Nampak lautan. Banyak orang mendorong motornya. Tukang becak
menarik becak dengan upah pasti diatas 15.000 meskipun dekat. Jalanannya berlubang
di banyak titik. Sisa 4 orang penumpang, 1 orang sudah turun di blok 1. Karena takut
angkotnya mogok, si Ibu-ibu menasehati agar belok ke blok 5 saja, Jalan
Suplier. Supir menurut, karena dia tidak tahu medan di wilayah itu.
Ooooh..setelah masuk blok 5..ternyata jalan ditutup.muter-muter sana-sini. Banyak mobil
mengantre, membunyikan klakson. Penduduk sekitar tidak bergeming. Gerbang jalan
tetap di tutup. Kami putar arah, setau saya masih ada jalan tembus dari blok 5,
keluar Jalan Dahlia. Sebenarnya agak kurang setuju dengan usulan si ibu
untuk belok ke blok 5, pertama, karena
ternyata si Ibu dan 2 anaknya ini tidak hapal jalanan blok 5. Jadi, otomatis
semua bertanya pada saya. Kedua,
ironisnya, 19 tahun lebih saya tinggal di Kencana, saya ingat-tidak-ingat
dengan seluk beluk Kencana, karena cukup luas dan karena saya bukan tukang
Becak. TK-SD-SMP saya jadi anak rumahan, yang bermain hanya sekitar rumah, menelusuri
perumahan hanya saat Ramadhan, selepas Kuliah Subuh. SMA jadi anak kosan, dan
kuliah jadi rider amatiran. Juga karena kemampuan geografis saya buruk, yang
bahkan pernah keukeuh bilang bahwa Riau ada di Kalimantan, ditambah, jalanan
banyak yang ditutup, penghuni angkot marah-marah, si ibu mengutuk menyumpah
serapahi warga yang menutup jalan, supir angkot kesal, saya jadi stress. Dan memilih
berdoa saja.
Sudahlah, terjang saja banjir di Teratai Raya, karena itu
jalan utama, tidak mungkin ditutup. Tapi Si Ibu kekeuh takut angkotnya mogok
-,- jadi dia berinisiatif lagi untuk belok ke blok 6. Beberapa mobil juga ikut
belok ke blok 6 karena ada beberapa bapak-bapak berdiri di gerbang bblok 6 dan
menganjurkan lewat sana saja. Kami masuk…beberapa belokan, jalannya di tutup. Kami
terus mencari jalan lain.
Saya ingat ada jalan lain, dan ternyata tinggal sekali belok
menuju keluar…..jalannya ditutup -,- antrian mobil panjang. Semua membunyikan
klakson. Debat dengan warga, semua isi angkot marah-marah. Saya mengambil
payung, berinisiatif melihat apa yang terjadi di depan, angkot kami antre di
agak belakang. Setidaknya bertanya pada warga, apa tidak bisa dibuka sebentar,
ini jalan umum, sudah mencari-cari jalan sejak tadi, semua ditutup. Tapi si
ibu-ibu melarang saya keluar. Oh baiklah, satu persatu mobil mundur, mencari
jalan lain. Kami terpaksa ikut mundur. Padahal sudah dekat, tinggal sekali
belok. Hiks.
Warga menutup jalan karena khawatir jika mobil masuk, air
akan membludah, memasuki rumah mereka. Baru pertama kali pengalaman seperti
ini. Rumah saya di blok 12, jarang banjir besar, juga bukan jalan alternative dari
Teratai Raya untuk menuju blok lain. Jadi tidak banyak dilewati. Satu kali pun,
belum pernah jalanan di rumah saya di tutup.
“ini jadi harus lewat mana jadinya?” Tanya supir.
Semua esmoseeh.
Semua berpendapat. Akhirnya kami memutuskan lewat Gradiul,
jalan besar yang kemungkinan tidak ditutup. Menabrak penutup jalan yang hanya sebuah kayu
di atas sejenis grobak angkut semen (apa itu namanya -,-.) Dan waaaw. Banjir hampir
masuk ke dalam angkot. Subhanallah.
Saking heboh dengan dalamnya banjir, tempat seharusnya saya
turun, terlewati. Kalau turun di situ, meskipun bukan dekat Lapang Liga seperti
yang ibu saya sarankan, banjirnya tidak terlalu dalam. Tapi karena kelewat,
sadar sudah lumayan jauh, dengan kondisi Gradiul yang banjir besar, saya
berencana turun di jalan Tanjung. Si ibu bersama dua anaknya turun di belokan blok
10, Jalan Bakung, member 25ribu untuk 3 orang pada supir angkot. Ah, gawat,
uang di dompet saya Cuma ada 50.000 satu lembar, 100.000 satu lembar, koin 500
rupiah, dan 2000 dua lembar. Kalau dikasih 50.000, nanti takut dimahalin. Grasak-grusuk,
mencari di setiap saku tas. Akhirnya menemukan 4000 di sela-sela tas. Total, berarti punya 8000.
Akhirnya saya turun di Jalan Tanjung, karena tidak mungkin angkot memutar balik
untuk mengantar saya ke dekat Lapang Liga. Kasihan juga supirnya, sudah tampak
stress. Saya turun, dengan membayar seadanya, 8000.
Perjuangan belum selesai. Saya harus menyebrang Jalan
Teratai Raya untuk bisa masuk belokan blok 12. Dan subhanallah, cetar membahana
sekali, beberapa senti di atas lutut saya terbenam air. Saya berjalan melawan
arus, jadi tambah berat melangkah. Beberapa anak-anak bermain air di pinggiran.
Kolam renang dadakan. Anggaplah begitu -,-
Akhirnya, saya sampai juga di belokan blok 12. Terharu. Saya
masuk lewat Herbras 7, banjir hanya semata kaki. Menyebrang lapang, tidak
banjir sama sekali. Lalu Alhamdulillah sampai di Herbras 4, rumah saya, jalannya
hanya banjir se mata kaki.
Rumah. Damai. Sudah sangat sore. Ibu dan ayah saya hanya
tertawa.
Untung Alhamdulillah saya tidak bawa motor. Tidak bisa
dibayangkan kalau saya terjebak banjir membawa motor. Terus mogok. Nyeeeh.
Malam hari banjir sudah surut, dan pagi-pagi Teratai Raya
sudah pulih. Tapi, kalau siang hujan lagi, pasti kami dapat banjir kiriman
lagi. Cukup dua hari banjir begini. Kasian orang kantoran. Ayah saya jadi
pulang sebelum jam 4, takut kena banjir lagi.
nasib tinggal di Bandung coret :--((
Semoga, pihak yang berwenang mengurusi sarana, prasarana,
infrastruktur, atau apapun itu istilahnya, cepat memulihkan kondisi ini.
Sebentar lagi saya kuliah soalnya.