Setoples keripik,
ditemani selimut yang cukup tebal, di bawah temaram lampu neon 14 watt, menyaksikan
acara-acara di televisi, memindahkan tombol remote sesering mungkin, mencari
acara yang mendidik, atau setidaknya menghibur, atau kalau tidak ada yang
seperti itu, minimal yang tidak membodohi.
Di samping saya,
dengan wangi nya yang khas, lengannya yang bertimbun lemak, terduduk seorang
wanita tengah baya, dia ibu saya. Sambil melingkarkan satu lengan saya pada
lengannya, menempelkan pipi dan hidung di lengan atasnya, menyandarkan diri di
bahunya, mirip seperti seorang anak yang sedang merajuk ibundanya untuk
dibelikan es krim. Saya suka suasana seperti ini. Saling mengomentari isi acara
televisi. Lalu sampai pada waktunya jemari saya berhenti menekan remote. Stasiun
televisi swasta menayangkan sebuah acara berita.
Berita pertama
yang kami tonton sore itu sedikit membuat ibu saya menegakkan sedikit
punggungnya. Sebuah berita tentang kematian seorang mahasiswi Universitas
Indonesia asal Bukittinggi karena melompat dari angkutan umum. Salah satu
angkot Jakarta membawanya keluar dari jalur operasi
angkot tersebut seharusnya. Setelah. Saksi mata di TKP menyatakan bahwa berusaha
untuk keluar dari angkot, kemudian kepalanya terbentur trotoar. Wallahualam apa
yang sebenarnya terjadi dalam angkot, sehingga korban nekad untuk melompat dari
dalam.
Heyaahh. Saya dan
ibu saya saling menggelengkan kepala. Mengekspresikan mimik muka yang
ketakutan. Kemudian, entah berapa paragraf kalimat yang keluar mulut ibu saya,
menasihati..kamu de, hati-hati kalau lagi di angkot. Jangan naik angkot yang
kosong, cari yang udah hampir penuh, kalau bisa ada ibu-ibunya. Dan blablablabla.
Ngeri. Kota-kota
besar sudah semarak tindak kriminalitas, korbannya kebanyakan gadis yang
berpergian sendiri. Wajar kalau ibu saya khawatir.
Belum sempat
reda keempatian terhadap berita pertama, pembaca berita melanjutkan isi berita
tentang…lagi-lagi saya harus menghembuskan nafas dengan berat…tentang
pemerkosaan seorang siswa SMK oleh 6 orang pemuda. Geleng-geleng kepala lagi. Sepakat
untuk terus menonton berita tersebut, dengan komat-kamit nasihat ibu saya.
Berita selanjutnya,
adalah tentang pembunuhan bayi oleh pembantu rumah tangga di kawasan Jakarta. Berdalih
ada perampok masuk rumah, akhirnya sang pembantu harus mengakui bahwa dia yang
membunuh bayi majikannya. Haaaaaah.
Kami setia
menanti iklan berakhir, kemudian berita kembali dilanjutkan.
Kali ini tentang
sindikat perdagangan bayi. Bayi-bayi dijual dengan seenak jidat. Manusia kini
seharga tv 21 inchi atau kulkas dengan 2 pintu, barang yang mudah
diperjuabelikan. Andai bayi tersebut bisa bicara, dia akan mempertanyakan
tanggung jawab orang tuanya, mengapa ia diperlakukan seperti itu.
Berita beralih
pada masalah politik yang menggunjing partai besar berwarna biru dengan lambang
segitiga. Prahara di dalamnya yang tidak selesai-selesai. Dan berita KPK yang
menciduk para koruptor baru, dugaan korupsi impor daging sapi, penyelewengan
dana arena PON, dsb,dsb. Saya sebagai rakyat bosan dengan semua berita ini. Bosan
benar, jengah.
Saya berinisiatif
untuk memindahkan channel tivi. Kenapa isi semua berita demikian?
Pembunuhan,
penjambretan, tindak asusila, pemerkosaan. Orang-orang
nekad mencuri, melecehkan wanita, hingga merenggut nyawa, dilatarbelakangi
keterdesakkan kondisi. Lingkungan yang memaksa mereka demikian, ditambah dalam
diri tidak ada penyelaras emosi, tidak ada kekuatan iman, hingga mereka tidak lagi
mempedulikan bahwa sejatinya tindakannya tidak pernah luput dari pandangan
Tuhan. Mereka hanya perlu tahu bagaimana caranya mengisi perut, bertahan hidup,
sementara dirinya tidak pernah mau beranjak dari lemahnya keinginan untuk
belajar, memperbaiki taraf hidup dengan cara terhormat. Menghalalkan segala
cara, mencari alternatif se-instan mungkin, berujung merugikan orang lain.
Dan sialnya
lagi, ini berlangsung turun temurun.
Paradigma untuk
mencari jalan instan memenuhi kebutuhan hidup seperti virus yang menginvasi
satu sel, kemudian menyebar ke sel-sel lainnya, atau sekedar seperti seorang
yang melihat seseorang menguap, lantas tertular untuk ikut menguap. Menular.
Kriminalitas bukan
hanya dilakukan oleh kaum marginal. Para elite pun punya trackrecord dalam
mewarnai data kriminalitas Negara. Ironisnya, sering kali kejahatan yang mereka
lakukan lebih menyiksa banyak pihak karena meliputi urusan kemaslahatan hajat
hidup banyak orang. Kamiskinan bukan selalu menjadi DNA yang menentukan tingkat
kriminalitas. Ketidakpuasan terhadap apa yang dimiliki, keinginan untuk
memperkaya diri, tenggelam dalam kemewahan dunia, mengatasnamakan kekuasaan,
menganaktirikan kepercayaan. Kenyataannya, agama tidak pernah lepas dari segala
aspek. Termasuk kontrol diri.
Manusia memang
tempat salah dan lupa. Tapi kalau keseringan salah, sampai terbiasa salah yang
disadari, bukan manusia namanya. Tidak ada manusia yang tidak punya khilaf,
tapi tentu ada keimanan yang mendidik manusia untuk mengetahui batasan.
Solusi klasik,
tapi bukan klasik namanya jika belum kunjung diterapkan. Memang pendidikan selalu
menjadi setitik cahaya di ujung terowongan panjang. Pendidikan science,
teknologi, pembentukan karakter, pendidikan budaya, dan agama. Media yang terus
menerus menginformasikan berita kejahatan tapi lupa menarik sisi optimis bahwa
di ragam belahan bumi Indonesia, masih terkubur kisah inspiratif yang belum
digali media. Masyarakat dibodohi dengan berita negative, seakan Indonesia ini
memuakkan karena disana sini atmosfernya selalu suram. Hingga akhirnya terbiasa
dengan kabar menyedihkan, ya seperti saya ini.
banyak yang memisah-misahkan nilai. mengotak-kotakkan pemikiran. terlebih tidak punya panduan. ke laut ajeee...
padahal ada Islam. Islam itu kaffah, menyeluruh. Semua unsur harus melibatkan agama. Politik pemerintahan sekalipun. Pandangan dan pemikiran diatas jangan-jangan sebatas sekulerisme yang ingin memisahkan agama dari aktivitas kehidupan. Berakhir dengan liberalisme yang membebaskan kehidupan. Berawal keraguan berakhir ketidakyakinan. Ngeri. Yang ini lebih ngeri.
Banyak yang
tidak paham dengan agamanya, mereka adalah yang tidak mengerti. Tapi lebih
banyak yang salah paham dengan agamanya, mereka adalah yang menafsirkan sesuatu
dengan salah. Yang salah paham atau gagal paham ini yang bahaya. merasa diri mengerti, tapi menafsirkan dengan salah.
Ah, melebar
kemana-mana ini bahasan.
Saya jadi pusing
dengan apa yang saya tulis. Sudahi saja.
Saya berlindung
pada Allah dari ketidaktahuan dan dari pendapat yang tidak benar.
0 comments:
Post a Comment
comment this post