Monday, February 11, 2013

Eudaemonis



Setoples keripik, ditemani selimut yang cukup tebal, di bawah temaram lampu neon 14 watt, menyaksikan acara-acara di televisi, memindahkan tombol remote sesering mungkin, mencari acara yang mendidik, atau setidaknya menghibur, atau kalau tidak ada yang seperti itu, minimal yang tidak membodohi.

Di samping saya, dengan wangi nya yang khas, lengannya yang bertimbun lemak, terduduk seorang wanita tengah baya, dia ibu saya. Sambil melingkarkan satu lengan saya pada lengannya, menempelkan pipi dan hidung di lengan atasnya, menyandarkan diri di bahunya, mirip seperti seorang anak yang sedang merajuk ibundanya untuk dibelikan es krim. Saya suka suasana seperti ini. Saling mengomentari isi acara televisi. Lalu sampai pada waktunya jemari saya berhenti menekan remote. Stasiun televisi swasta menayangkan sebuah acara berita.

Berita pertama yang kami tonton sore itu sedikit membuat ibu saya menegakkan sedikit punggungnya. Sebuah berita tentang kematian seorang mahasiswi Universitas Indonesia asal Bukittinggi karena melompat dari angkutan umum. Salah satu angkot Jakarta membawanya keluar dari jalur operasi angkot tersebut seharusnya. Setelah. Saksi mata di TKP menyatakan bahwa berusaha untuk keluar dari angkot, kemudian kepalanya terbentur trotoar. Wallahualam apa yang sebenarnya terjadi dalam angkot, sehingga korban nekad untuk melompat dari dalam.

Heyaahh. Saya dan ibu saya saling menggelengkan kepala. Mengekspresikan mimik muka yang ketakutan. Kemudian, entah berapa paragraf kalimat yang keluar mulut ibu saya, menasihati..kamu de, hati-hati kalau lagi di angkot. Jangan naik angkot yang kosong, cari yang udah hampir penuh, kalau bisa ada ibu-ibunya. Dan blablablabla.

Ngeri. Kota-kota besar sudah semarak tindak kriminalitas, korbannya kebanyakan gadis yang berpergian sendiri. Wajar kalau ibu saya khawatir.

Belum sempat reda keempatian terhadap berita pertama, pembaca berita melanjutkan isi berita tentang…lagi-lagi saya harus menghembuskan nafas dengan berat…tentang pemerkosaan seorang siswa SMK oleh 6 orang pemuda. Geleng-geleng kepala lagi. Sepakat untuk terus menonton berita tersebut, dengan komat-kamit nasihat ibu saya.

Berita selanjutnya, adalah tentang pembunuhan bayi oleh pembantu rumah tangga di kawasan Jakarta. Berdalih ada perampok masuk rumah, akhirnya sang pembantu harus mengakui bahwa dia yang membunuh bayi majikannya. Haaaaaah.

Kami setia menanti iklan berakhir, kemudian berita kembali dilanjutkan.

Kali ini tentang sindikat perdagangan bayi. Bayi-bayi dijual dengan seenak jidat. Manusia kini seharga tv 21 inchi atau kulkas dengan 2 pintu, barang yang mudah diperjuabelikan. Andai bayi tersebut bisa bicara, dia akan mempertanyakan tanggung jawab orang tuanya, mengapa ia diperlakukan seperti itu.  

Berita beralih pada masalah politik yang menggunjing partai besar berwarna biru dengan lambang segitiga. Prahara di dalamnya yang tidak selesai-selesai. Dan berita KPK yang menciduk para koruptor baru, dugaan korupsi impor daging sapi, penyelewengan dana arena PON, dsb,dsb. Saya sebagai rakyat bosan dengan semua berita ini. Bosan benar, jengah.

Saya berinisiatif untuk memindahkan channel tivi. Kenapa isi semua berita demikian?

Pembunuhan, penjambretan, tindak asusila, pemerkosaan. Orang-orang nekad mencuri, melecehkan wanita, hingga merenggut nyawa, dilatarbelakangi keterdesakkan kondisi. Lingkungan yang memaksa mereka demikian, ditambah dalam diri tidak ada penyelaras emosi, tidak ada kekuatan iman, hingga mereka tidak lagi mempedulikan bahwa sejatinya tindakannya tidak pernah luput dari pandangan Tuhan. Mereka hanya perlu tahu bagaimana caranya mengisi perut, bertahan hidup, sementara dirinya tidak pernah mau beranjak dari lemahnya keinginan untuk belajar, memperbaiki taraf hidup dengan cara terhormat. Menghalalkan segala cara, mencari alternatif se-instan mungkin, berujung merugikan orang lain.

Dan sialnya lagi, ini berlangsung turun temurun.

Paradigma untuk mencari jalan instan memenuhi kebutuhan hidup seperti virus yang menginvasi satu sel, kemudian menyebar ke sel-sel lainnya, atau sekedar seperti seorang yang melihat seseorang menguap, lantas tertular untuk ikut menguap. Menular.

Kriminalitas bukan hanya dilakukan oleh kaum marginal. Para elite pun punya trackrecord dalam mewarnai data kriminalitas Negara. Ironisnya, sering kali kejahatan yang mereka lakukan lebih menyiksa banyak pihak karena meliputi urusan kemaslahatan hajat hidup banyak orang. Kamiskinan bukan selalu menjadi DNA yang menentukan tingkat kriminalitas. Ketidakpuasan terhadap apa yang dimiliki, keinginan untuk memperkaya diri, tenggelam dalam kemewahan dunia, mengatasnamakan kekuasaan, menganaktirikan kepercayaan. Kenyataannya, agama tidak pernah lepas dari segala aspek. Termasuk kontrol diri.

Manusia memang tempat salah dan lupa. Tapi kalau keseringan salah, sampai terbiasa salah yang disadari, bukan manusia namanya. Tidak ada manusia yang tidak punya khilaf, tapi tentu ada keimanan yang mendidik manusia untuk mengetahui batasan.

Solusi klasik, tapi bukan klasik namanya jika belum kunjung diterapkan. Memang pendidikan selalu menjadi setitik cahaya di ujung terowongan panjang. Pendidikan science, teknologi, pembentukan karakter, pendidikan budaya, dan agama. Media yang terus menerus menginformasikan berita kejahatan tapi lupa menarik sisi optimis bahwa di ragam belahan bumi Indonesia, masih terkubur kisah inspiratif yang belum digali media. Masyarakat dibodohi dengan berita negative, seakan Indonesia ini memuakkan karena disana sini atmosfernya selalu suram. Hingga akhirnya terbiasa dengan kabar menyedihkan, ya seperti saya ini.


banyak yang memisah-misahkan nilai. mengotak-kotakkan pemikiran. terlebih tidak punya panduan. ke laut ajeee...

padahal ada Islam. Islam itu kaffah, menyeluruh. Semua unsur harus melibatkan agama. Politik pemerintahan sekalipun. Pandangan dan pemikiran diatas jangan-jangan sebatas sekulerisme yang ingin memisahkan agama dari aktivitas kehidupan. Berakhir dengan liberalisme yang membebaskan kehidupan. Berawal keraguan berakhir ketidakyakinan. Ngeri. Yang ini lebih ngeri.



Banyak yang tidak paham dengan agamanya, mereka adalah yang tidak mengerti. Tapi lebih banyak yang salah paham dengan agamanya, mereka adalah yang menafsirkan sesuatu dengan salah. Yang salah paham atau gagal paham ini yang bahaya. merasa diri mengerti, tapi menafsirkan dengan salah.

Ah, melebar kemana-mana ini bahasan.

Saya jadi pusing dengan apa yang saya tulis. Sudahi saja.

Saya berlindung pada Allah dari ketidaktahuan dan dari pendapat yang tidak benar.

0 comments:

Post a Comment

comment this post