Jadi tiba-tiba bernostalgia ketika Ali bertanya di pagi
cerah tapi menyengat. Pertanyaan Ali cukup memancing pikiran-pikiran yang
pernah saya kubur hidup-hidup.
“Nah, apa?” Katanya.
A-P-A. APAAA?
“apa yang bisa meyakinkan saya kalau kalian memang sebuah keluarga?” kata Ali
“apa yang bisa meyakinkan saya kalau kalian memang sebuah keluarga?” kata Ali
Bocah kelas 2 SMA yang saya tidak kenal siapa namanya
menjawab, “ya..karena kita satu nasib”
“saya di ITB, masa adik saya harus di sana juga? Itu
maksudnya satu nasib?”
“bukan gitu kang….”
Ya..ya…yasudahlah adik baik, saya mengerti maksudmu. Bukan
“nasib” kata yang cocok untuk diutarakan disini. Harusnya ada kata lain, tapi
sebentar, saya cari dulu. Nanti kalau sudah ketemu, saya kasih tau.
Hatta, melanjutlah Ali memancing mereka dengan kail dan jala
(?) membuat semua anak menunduk, entah lapar, mengantuk, atau berpikir. Sulit
dibedakan.
Seorang anak yang lain mengacungkan lengannya, mengatakan
salah satu dari sekian banyak yang ingin saya katakan. “……, ya itulah yang
membedakan kita dengan organisasi lain. Keluarga”. Sayangnya Ali belum puas
juga, saya juga tidak puas sebenarnya. Ya, pada akhirnya Ali lah yang harus
menjelaskan maksudnya bertanya, untuk memuaskan dirinya juga, barangkali.
Dan karena saya tidak pandai mengingat apa yang dikatakan
Ali, maka sekarang saya memutuskan untuk bermain dengan pikiran sendiri, saya
sedang ber-senandika. Senarai panjang kata-kata yang akhirnya muncul meneror
saya pada kondisi masa silam yang pernah saya pupuk dan siram baik-baik, lalu
saya bakar dan bumihanguskan sendiri, kamudian saya coba Tanami lagi. Ah,
ternyata saya pernah menjadi se-innocent anak kecil yang bermain dengan lego
nya, mendirikan istana, dan karena bosan kemudian diacak-acak lagi.
Saya pernah bosan dengan satu kondisi, sebut saja kondisi seperti ini(?). Saya pernah menyamaratakan semua nilai organisasi, yah, semuanya event organizer. terus saya bosan, berencana mengubur hidup-hidup idealisme yang dulu pernah ada, eh taunya, yang namanya pemahaman emang ga bisa sembarang di kubur, harus ada surat izinnya dulu (?)
Saya pernah bosan dengan satu kondisi, sebut saja kondisi seperti ini(?). Saya pernah menyamaratakan semua nilai organisasi, yah, semuanya event organizer. terus saya bosan, berencana mengubur hidup-hidup idealisme yang dulu pernah ada, eh taunya, yang namanya pemahaman emang ga bisa sembarang di kubur, harus ada surat izinnya dulu (?)
Jadi, tolong tanggung jawab ya, Gama, gara-gara kata-kata
kamu, saya jadi kepikiran ini lagi. Ini bukan judul film, bukan juga sinyal
suatu telepon selular, tapi 3G, Gara-Gara Gama, saya sedikit tersentil, dia
bilang, tidak seperti organisasi lain. Dan kalau boleh menambahkan, saya-anak
kemarin sore- yang belum juga sembuh dari tidur indah masa lalu, ini pun tidak
seperti organisasi sejenisnya, yang pernah saya kenali. Yang mungkin Ali
tekankan adalah bahwa keluarga itu senang sedih dirasa bersama, saling
mengingatkan dalam kebaikan, saling men-support. Hingga akhirnya, setetes demi
setetes air mata para adik akhwat menjelaskan unek-unek mereka. Salah seorang
dari mereka menasihati yang lainnya, katanya dalam keluarga tidak ada yang
tidak istimewa, ibu selalu menganggap semua anaknya istimewa, tidak ada anak
yang tidak disayang ibu. Teman-teman kita yang jarang datang, berhusnudzon lah,
bukan berarti mereka tidak ingin merapat, tapi mungkin karena kita seringkali
tidak mengindahkan kehadiran mereka, mereka mungkin saja merasa tidak
diistimewakan, tidak dianggap penting.
ukhuwah ^^ |
Karena hidayah datang dari mana saja, hikmah dipetik dari
siapa saja, dari mereka pun saya diingatkan kembali dengan kata-kata yang
pernah didaratkan untuk saya dan teman-teman 2011 lain. Tiba-tiba saya menjadi
makhluk imbesil dan justru mereka mengakselerasi kedewasaan. Ini bisa saja
terjadi. Dan saya hanya sebatas imago, mereka bermetamorfosis duluan. Sampai
akhirnya saya sadar kembali setelah mengoonsumsi sebungkus roti coklat keju.
Sebuah keluarga, dengan pentingnya sebuah penghargaan dari
masing-masing anggota keluarga. Saling merasa dihargai. Punya tujuan yang sama,merasakan
hal yang sama, kalau kakak sakit, semua ikut merasakan, kalau ibu demam, semua
ikut merasakan.
Kita membangun sebuah komunitas bernama keluarga yang
didalamnya tumbuh kesepahaman yang integral, meskipun berbeda cara menjalani
hidup, semuanya tetap satu integritas. Mengalir bersama zaman, pragmatisme
tumbuh untuk menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan
berubah. Kedinamisan untuk berlega hati menghargai perbedaan, menyikapi bahwa
setiap orang adalah penting.
Terimakasih sudah diingatkan kembali.
Terimakasih sudah diingatkan kembali.
Kontemplasi selesai.
Setelah berpanjang ria menulis ini, tahukah Anda, bahwa
sebenarnya saya sedang menulis tentang organisasi dengan leadershipnya. Goalnya
gak dapet ya? Yasudahlah, ga apa-apa.
"ibarat satu tubuh" |
Terimakasih adik-adik 2014, alumni AF 2013-2009 yang sempat
hadir. Titip AF ya 2014, dijaga dengan baik-baik, hikmahnya kalau belum berasa
sekarang, pasti suatu saat akan benar-benar terasa.
Ohya, sampai lupa. Saya tadi kan mau ngasih tau, kata “satu
nasib” kurang cocok, jadi kata yang seharusnya dipakai -minjem istilah popular-
adalah “ibarat satu tubuh”.
aza aza fighting! ^^
aza aza fighting! ^^
0 comments:
Post a Comment
comment this post