Bismillahirrahmaanirrahiim.
……al Insanu
madaniyyun bith tabh’i…...
Manusia adalah bermasyarakat secara tabi’atnya.
Manusia diciptakan dengan fitrah bermasyarakat.
“wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…..” (Q.S Al-Hujurat : 13)
…menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku… memang pada dasarnya manusia hidup
berkelompok, membentuk komunitas sesuai dengan jati dirinya, menemukan zona
yang dirasa nyaman untuknya. Untuk itu, manusia akan senantiasa melakukan
pengenalan dengan dunia sosial dimana dia hidup. Tidak ada manusia yang bisa
survive hidup sendiri. Orang jomblo pun butuh orang lain *untuk menghapus kejombloannya.
*Ah, fokus det, fokuuss.
Pengenalan.
Kenal—mengenal-dikenal. Untuk menuju “berkelompok” manusia harus
melawati proses mengenal orang lain. Taaruf. Proses saling mengenal tidak hanya
sebatas, oke-saya-tahu-nama-Anda—Anda-tahu-nama-saya. Ada 3 tahap yang harus
dilewati agar proses Taaruf kita sempurna ; pertama, taaruf Jasadiyah : kita
tidak bisa mengelak bahwa untuk mengenal, kita wajib -pake banget- untuk tahu
wujud orang yang ingin dikenal seperti apa. Saat kita mengenal, kita harus tahu
seperti apa wajah Ina dan seperti apa wajah Ani, karena Ina bukanlah Ani dan
Ani bukanlah Ina (?) di tahap ini, kita akan mulai mengetahui siapa namanya,
pekerjaannya apa, umurnya berapa, dsb, dsb. Segala yang berhubungan dengan
dirinya, kita tahu, entah secara superfisial, maupun mendalam.
Kedua, adalah taaruf fiqriyah. Saat kita sudah mengenal jasadiyah, otomatis, kita akan lebih sering berinteraksi. Menuangkan pola pikir
dalam percakapan. Bertukar pandangan. Maka saat proses itu berlangsung, secara
sadar maupun tidak sadar, sebenarnya kita sedang mengenal seseorang secara
fiqriyah. Saat berhasil melewati tahap ini, kita bisa membuktikan bahwa
serigala akan berkumpul dengan serigala lainnya, bukan dengan
harimau-kambing-kucing-ayam-kerbau-sapi. Kita akan mampu menilai, bahwa
ternyata sekelompok orang disatukan oleh kesamaan pola pikir mereka. Jarang sih
ya, orang sholeh berkelompok dengan tukang mabuk. Secara sendirinya, mereka
akan memisahkan diri, mengeliminasi diri, menjadi bagian marginal yang menyusut
mencari pribadi-pribadi lain yang dirasa sama….secara fiqriyah.
Ketiga, adalah taaruf qolbiyah. Inilah pengikat segala jenis
taaruf. Saling mengenal secara batin, dari hati ke hati. Qalbu kita memiliki
radar sendiri, memiliki kecenderungan sendiri. Bagaimana kita yang sudah
menyatu hatinya dengan orang sholeh, akan merasakan kerinduan tersendiri untuk
kembali berkumpul, pun dengan orang pecinta geng motor -misalnya, mereka akan
merindukan perkumpulan dengan kelompok mereka. Itu fitrah. Saat kita sudah
mengenal seseorang secara qolbiyah, kita sudah tidak perlu lagi menanyakan :
kamu orangnya gimana sih? Karena keterikatan hati kita sudah mampu menilai, oh
ternyata orang ini sifatnya begini begini begini, istilahnya tafahum. Kita bisa merasakan karakter
orang tersebut. Inilah pentingnya menjaga keterikatan hati lewat pengenalan.
Untuk masuk dalam kehidupan seseorang adalah dengan menyentuh hatinya, dan hati
hanya bisa disentuh oleh hati.
Lalu setelah taaruf-tafahum, kita memasuki fase Ta’awun. Tolong
menolong. Kita yang sudah saling mengenal saudara kita akan cenderung lebih
memprioritaskan dalam tolong menolong, dalam bekerja sama. Ruh manusia itu
ibarat pasukan yang berkelompok-kelompok. Dengan kesadaran ini, kerja-kerja
kita seharusnya tersalurkan menjadi sebuah ikatan yang mengumpulkan “kayu-kayu”
terserak.
Setelah kita bisa saling menolong, maka kita bisa saling
Takaful, senasib sepenanggungan. Inilah hakikat UKHUWAH. Tingkatan dimana
setiap muslim merasakan saudara sesama muslim sebagai satu tubuh. Disini kita
bisa melihat bahwa lingkungan mencerminkan kepribadian seseorang. Teman-teman
sepergaulan yang senasib sepenanggungan akan mendeskripsikan siapa kita.
Beritahukan siapa temanmu, maka aku akan tahu siapa dirimu, begitu kata
pepatah. Inilah ukhuwah. Ikatan ukhuwah adalah ikatan yang menjembatani
keshalihan individu menuju keshalihan masyarakat.
Dari keshalihan pribadi menuju keshalihan masyarakat.
Allah menurunkan agama Islam bukan hanya untuk manusia
sebagai pribadi tetapi juga untuk manusia sebagai masyarakat, karena itu Islam
bukan hanya membangun keshalihan pribadi melainkan juga membangun keshalihan
masyarakat. Keshalihan pribadi berhubungan dengan kedekatan seseorang
denganAllah yang diwujudkan dalam ketaatan dalam beribadah (Hablum minallah).
Sedang keshalihan masyarakat adalah hubungan harmonis manusia dengan sesame
manusia (Hablum minannas), yang ditunjukkan dengan perilaku dan akhlak yang
baik. Dua sisi keshalihan ini wajib untuk dilaksanakan secara bersamaan dan
seimbang.
Keshalihan individu datang ketika seseorang mampu memurnikan
tauhid kepada Allah. Dan puncak dari ketauhidan adalah IHSAN.
Ihsan berarti berlaku baik, merasa diawasi oleh Allah dalam setiap
gerak-gerik. Muruqubatullah. Seseorang yang ihsan akan melakukan aktivitas
semata mencari penilaian Allah, bukan sekedar penilaian makhluk. Allah menyuruh
kita untuk berbuat ihsan dalam segala hal.
“Sungguh, Allah wajibkan kamu berlaku IHSAN dalam segala hal.” (H.R Muslim)
“dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah (IHSAN) kepada kedua orang tua, kerabat karib, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Q.S An-Nisa : 36)
Ihsan tercermin dalam perilaku, perbuatan dan perkataan.
Dengan prinsip ihsan ini, kita akan memperlakukan sesama manusia sebagaimana
mestinya, hablum minannas tercapai dengan baik.
Seperti halnya ihsan yang menjadi kunci keshalihan individu,
maka keharmonisan hidup manusia dalam membangun peradabannya memiliki kuncinya
tersendiri. 2 pilar untuk menciptakan peradaban IHSAN adalah sikap amanah dan
adil.
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu mendapatkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil…” (Q.S An-Nisa : 58)
Amanah berarti terpercaya, bertanggung jawab, sedang adil
berarti meletakkan dan memberlakukan sesuatu sesuai dengan tempatnya (dalam
koridor Islam).
Dengan sikap amanah dan adil, perlahan, generasi akan
menyesuaikan keadaan, menyusun tumbukan batu pondasinya, menuju keshalihan
sebuah peradaban. Dan itu hanya bisa dimulai dari diri sendiri, menuju generasi
madani, peradaban Rabbani. Aamiin.
Kehancuran setiap bangsa terjadi manakala amanah telah
dikhianati dan keadilan telah ditinggalkan.
Inilah pentingnya kita berkelompok, saling mengingatkan
tujuan, menyamakan pemahaman, saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran,
dan saling menjaga amanah dan rasa adil agar tetap tumbuh dalam setiap kita.
Wallahualam bishawab.
CMIIW.
Sumber :
Alquran.
Catatan pengajian persistri, oleh Ust. Jeje Zaenudin, 3 Jan
2013.
Catatan liqo.
0 comments:
Post a Comment
comment this post