“Selamat hari ibu, untuk ibu dan seluruh calon ibu di dunia J”
--kemudian liat kalender, oh nona, ini tanggal 26 Desember
-__-
*****
Saya ingat benar bagaimana mama memberi saya nasihat lewat
mencontohkan. Bagaimana saat mendengar adzan, mama selalu menyegerakan
menunaikan sholat. Saat maghrib tiba, ayah dan saya sudah di rumah. Ayah akan
pergi ke masjid, mama dan saya berjamaah. Lalu, selepas sholat, ayah pulang, mengambil
kacamatanya, membuka alqurannya. Lalu mama melakukan hal yang sama. Jika saya
malas dan langsung melepas mukena, mama akan berkata..”eh eh..mau kemana?”
Saya beruntung, tak seharipun rumah yang saya huni sepi
dengan lantunan alquran. Tak seharipun.
Saya juga ingat bagaimana sewaktu kecil ayah saya
mengajarkan saya sholat. Subuh, saya yang masih TK ayah bangunkan. Kaki saya
ayah tarik, diolahragakan, katanya, biar saya tinggi (takdir memutuskan saya
tidak tinggi -__-) lalu, menggendong saya di punggungnya, menuju kamar mandi. Saya
masih terkantuk-kantuk, ayah basuh wajah saya dengan air. Lalu melihat saya
melakukan wudhu. Setelahnya, menggendong saya lagi untuk kemudian membiarkan
saya sholat subuh.
Saya beruntung, pendidikan akhirat saya diperhatikan penuh
oleh orang tua saya.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?
dan sementara, orang di luar sana.....
dan sementara, orang di luar sana.....
******
Lalu, pelajaran dan hikmah ini saya petik dari perjalanan
saya sewaktu saya melancong ke Singapore. Di sana, saya bertemu dengan satu
keluarga dengan 3 anak yang masih dalam usia golden age, sang ibu bekerja dan
ayahnya pun bekerja. Di Singapore, gaji dihitung perjam, jadi bisa saja
seharian bekerja. Saat mama dan saya sholat, anak-anak melihat saja. Mama ajak,
ayo sholat, rupanya mereka tak ada mukena. Mama ngaji, mereka memperhatikan, rupanya
mereka tak punya iqra. Kata orang tuanya, nanti saja SD diajarkan
sholat-mengaji.
Bocah-bocah itu jelas kurang perhatian. Dan ketika bertemu
orang baru, mereka akan meluapkan segala bentuk pencarian perhatian. Saya maklum,
psikologis anak-anak selalu mencari kenyamanan. Maka saya jadi sasaran empuk
untuk ditarik-tarik tangannya, diduduki kakinya, dinaiki punggungnya, digenggam
jemarinya, ditangisi jika saya cuek. Arrgh! Pusing.
3 anak yang hiperaktif dalam waktu 4 hari bersama, cukup
sukses membuat saya menangis. Bukan karena pikiran saya capek, atau badan saya
yang remuk dihantam bocah, tapi saya menangis sejadi-jadinya karena saya takut.
Saat itu, saya menangis di bahu ibu saya. Anak-anak kebingungan, “aunty..
crying”
Saya takut, kalau nanti saya diamanahi anak oleh Allah, akan
seperti apa saya mengurusnya? Saya takut kalau saya tidak bisa menjadi ibu yang
baik. Saya takut kalau saya hanya mencari kepuasan materi, lalu lupa peran diri
sebagai ibu. Saya takut kalau anak-anak saya tumbuh tanpa tangan saya di setiap
prosesnya. Bisakah saya seperti mama dan ayah saya dalam mendidik saya, bahkan
jauh lebih hebat dari mereka?
Sementara orang-orang selalu berfokus mencari-cari,
menerka-nerka, siapakah pendamping hidupnya? Siapa pasangan tulang rusuknya? Tapi
pernahkah berfikir, setelah itu, kau akan jadi apa? Seberat apa peranmu? Disaat
masa kecil saya diwarnai perhatian dan didikan orang tua, ada banyak orang di
luar sana yang bahkan orang tuanya saja tidak tahu perihal urusan akhirat,
bagaimana mereka mau mendidik anak-anaknya?
Saya menangis, saat itu meminta doa pada ibu saya, “ma, doain
anak-anak detin sholeh sholehah”. Dan doa itu bisa tercapai dengan ikhtiar kita
menjadi anak yang berbakti terlebih dahulu, supaya anak-anak kita mencontoh
ibunya kelak. Fokus kita seharusnya bukan galau lagi mencari pasangan. Yang baik
akan dapat yang baik. Berkaca selama ini, bahwa saya harusnya malu,
bergalau-galau mencari teman hidup, tapi bakti pada ibu yang dibawah kakinya
ada surga, seringkali terbengkalai.
Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu, dan salah satu kuncinya
ada pada ayah. Menjadi ibu yang di kakinya ada surga, mendapatkan calon ayah
yang memegang kunci, memandu seluruh anggota keluarganya, menuju surgaNya. Mimpi
apa yang lebih indah dari ini? Surga itu di bawah kaki ibu, bukan dibawah kaki
perempuan. Bermimpilah menjadi seorang ibu, bukan sebatas perempuan-- karir,
dan apapun itu namanya.
Part, aku nangis baca ini. Malu galauin tulang rusuk, padahal surga yg dibawah telapak kaki saja masih lalai menaatinya.
ReplyDeleteMalu selalu menantikan pasangan, tanpa pernah berpikir mempersiapkan diri untuk menjadi ibu hebat buat anak-anaknya kelak.
Jazakillah katsir sudah diingatkan:)