Tuesday, December 25, 2012

Sementara


“Selamat hari ibu, untuk ibu dan seluruh calon ibu di dunia J
--kemudian liat kalender, oh nona, ini tanggal 26 Desember -__-

*****

Saya ingat benar bagaimana mama memberi saya nasihat lewat mencontohkan. Bagaimana saat mendengar adzan, mama selalu menyegerakan menunaikan sholat. Saat maghrib tiba, ayah dan saya sudah di rumah. Ayah akan pergi ke masjid, mama dan saya berjamaah. Lalu, selepas sholat, ayah pulang, mengambil kacamatanya, membuka alqurannya. Lalu mama melakukan hal yang sama. Jika saya malas dan langsung melepas mukena, mama akan berkata..”eh eh..mau kemana?”

Saya beruntung, tak seharipun rumah yang saya huni sepi dengan lantunan alquran. Tak seharipun.

Saya juga ingat bagaimana sewaktu kecil ayah saya mengajarkan saya sholat. Subuh, saya yang masih TK ayah bangunkan. Kaki saya ayah tarik, diolahragakan, katanya, biar saya tinggi (takdir memutuskan saya tidak tinggi -__-) lalu, menggendong saya di punggungnya, menuju kamar mandi. Saya masih terkantuk-kantuk, ayah basuh wajah saya dengan air. Lalu melihat saya melakukan wudhu. Setelahnya, menggendong saya lagi untuk kemudian membiarkan saya sholat subuh.

Saya beruntung, pendidikan akhirat saya diperhatikan penuh oleh orang tua saya.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?
dan sementara, orang di luar sana.....

******
Lalu, pelajaran dan hikmah ini saya petik dari perjalanan saya sewaktu saya melancong ke Singapore. Di sana, saya bertemu dengan satu keluarga dengan 3 anak yang masih dalam usia golden age, sang ibu bekerja dan ayahnya pun bekerja. Di Singapore, gaji dihitung perjam, jadi bisa saja seharian bekerja. Saat mama dan saya sholat, anak-anak melihat saja. Mama ajak, ayo sholat, rupanya mereka tak ada mukena. Mama ngaji, mereka memperhatikan, rupanya mereka tak punya iqra. Kata orang tuanya, nanti saja SD diajarkan sholat-mengaji.

Bocah-bocah itu jelas kurang perhatian. Dan ketika bertemu orang baru, mereka akan meluapkan segala bentuk pencarian perhatian. Saya maklum, psikologis anak-anak selalu mencari kenyamanan. Maka saya jadi sasaran empuk untuk ditarik-tarik tangannya, diduduki kakinya, dinaiki punggungnya, digenggam jemarinya, ditangisi jika saya cuek. Arrgh! Pusing.

3 anak yang hiperaktif dalam waktu 4 hari bersama, cukup sukses membuat saya menangis. Bukan karena pikiran saya capek, atau badan saya yang remuk dihantam bocah, tapi saya menangis sejadi-jadinya karena saya takut. Saat itu, saya menangis di bahu ibu saya. Anak-anak kebingungan, “aunty.. crying”  

Saya takut, kalau nanti saya diamanahi anak oleh Allah, akan seperti apa saya mengurusnya? Saya takut kalau saya tidak bisa menjadi ibu yang baik. Saya takut kalau saya hanya mencari kepuasan materi, lalu lupa peran diri sebagai ibu. Saya takut kalau anak-anak saya tumbuh tanpa tangan saya di setiap prosesnya. Bisakah saya seperti mama dan ayah saya dalam mendidik saya, bahkan jauh lebih hebat dari mereka?

Sementara orang-orang selalu berfokus mencari-cari, menerka-nerka, siapakah pendamping hidupnya? Siapa pasangan tulang rusuknya? Tapi pernahkah berfikir, setelah itu, kau akan jadi apa? Seberat apa peranmu? Disaat masa kecil saya diwarnai perhatian dan didikan orang tua, ada banyak orang di luar sana yang bahkan orang tuanya saja tidak tahu perihal urusan akhirat, bagaimana mereka mau mendidik anak-anaknya?

Saya menangis, saat itu meminta doa pada ibu saya, “ma, doain anak-anak detin sholeh sholehah”. Dan doa itu bisa tercapai dengan ikhtiar kita menjadi anak yang berbakti terlebih dahulu, supaya anak-anak kita mencontoh ibunya kelak. Fokus kita seharusnya bukan galau lagi mencari pasangan. Yang baik akan dapat yang baik. Berkaca selama ini, bahwa saya harusnya malu, bergalau-galau mencari teman hidup, tapi bakti pada ibu yang dibawah kakinya ada surga, seringkali terbengkalai.



Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu, dan salah satu kuncinya ada pada ayah. Menjadi ibu yang di kakinya ada surga, mendapatkan calon ayah yang memegang kunci, memandu seluruh anggota keluarganya, menuju surgaNya. Mimpi apa yang lebih indah dari ini? Surga itu di bawah kaki ibu, bukan dibawah kaki perempuan. Bermimpilah menjadi seorang ibu, bukan sebatas perempuan-- karir, dan apapun itu namanya.

1 comment:

  1. Part, aku nangis baca ini. Malu galauin tulang rusuk, padahal surga yg dibawah telapak kaki saja masih lalai menaatinya.
    Malu selalu menantikan pasangan, tanpa pernah berpikir mempersiapkan diri untuk menjadi ibu hebat buat anak-anaknya kelak.

    Jazakillah katsir sudah diingatkan:)

    ReplyDelete

comment this post