Saturday, January 7, 2012

Eklipsis Palestina


Bismillahirrahmaanirrahiim.
Sebuah kisah yang jika kita hayati mendalam akan menjadi sebuah pembelajaran berharga betapa sulitnya berkorban dan mengikhlaskan. Saya utarakan dengan penuh rasa haru, dengan kata-kata yang saya rangkai seadanya, namun berharap penuh bahwa setiap kata adalah do’a bagi mereka para syuhada di negeri Palestina…


Gerakan-gerakan kecil itu, dari sudut-sudut kota di Palestina yang kini porak poranda. Dari tangan-tangan yang gemetar memegang batu-batu untuk dilontarkan pada musuh. Dari langkah yang mantap melangkah ke depan menuju pembalasan atas kehancuran negeri. Dari cucuran darah yang menetes deras di hidung, di pipi, di pelipis, di mulut. Gerakan intifada’ mewarnai indahnya perjuangan rakyat Palestina atas kedzaliman yahudi.
Tak seimbang. Manusia bisa berkata demikian, namun bagi Allah azza wa jalla, semuanya mungkin. Kun fayakun.
Di kerumunan pasar, rakyat Palestina melakukan kegiatan jual beli seperti biasa. Suatu hari, di kerumunan pasar itu, satu buah bom mendarat menyisakan ledakan api, abu dan bahan-bahan yang dikandungnya. Masyarakat di kerumunan berpencar menyelamatkan diri, namun satu jam setelah itu, mereka kembali untuk beraktifitas di kerumunan pasar. Analogi mengharukan memang. Saat di negara-negara merdeka satu saja ledakan –meskipun kecil- , akan ramai diberitakan. Namun bagi mereka, ini adalah hal yang biasa. Suara bising khas ledakan sudah menjadi santapan mereka sehari-hari.

Seorang ibu, sedang berada di dalam rumahnya dengan suami dan ke-9 orang anaknya. Mereka tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri dan keluarga mereka sekalipun mereka harus siap dengan kematian yang seolah membayang-bayangi semua hidup rakyat palestina.
Subhanallah, hari itu, rumah mereka terhantam bom yahudi, meruntuhkan tembok-tembok dan atap rumah mereka. Sang ibu tak sadarkan diri, pun dengan suaminya. Dan ketika beliau sadar, beliau sedang dalam perawatan seorang dokter. Beliau bertanya, “dokter, apa yang terjadi pada diriku dan keluargaku.” Sang dokter menjawab, “kau selamat, hanya terluka sedikit dan suamimu pun demikian.” Tak puas dengan jawaban dokter, ia pun kembali bertanya, “bagaimana dengan kondisi anak-anakku?”. Dengan muka sedih,dokter menjawab “kesembilan anakmu, insyaAllah, telah syahid.”

Bayangkan bila dirimu berada di posisi wanita Palestina tersebut? Mudahkah untuk mengikhlaskan kepergian anak-anak hasil didikan secara susah payah begitu saya direnggut nyawanya? Bisakah kita setegar wanita Palestina itu yang justru bertasbih “subhanallah, maha besar Allah yang menjadikan anak-anakku syahid.” dan menanyakan :
“dokter, dengan usiaku saat ini, berapa tahun lagi aku mampu untuk melahirkan?”
Dokter menjawab, “sekitar 10 tahun lagi kau masih mampu untuk melahirkan.”
Mendengar itu beliau berazzam, “demi Allah, dalam 10 tahun ini, aku akan melahirkan 10 orang anak, mengurus dan membesarkannya sebagai tentara-tentara Allah, manusia yang berjuang di jalan-Nya”

Subhanallah.

Begitulah wanita palestina. Yang dari rahimnya lah lahir manusia-manusia penggenggam batu, tentara intifada’, pejuang Hammas, dan pembela risalah Allah.
Dari didikannya lah terbentuk kepribadian berkarakter para mujahid.
Mereka tidak mau mengeluh atas keterbatasan, meski perbedaan kekuatan militer jelas mencolok. Batu memang tidak sebanding dengan bom. Tapi, Allah selalu punya kendali. Dia hembuskan rasa takut pada hati tentara Yahudi, meski lawan mereka bersenjatakan batu dan bom berbahan peledak kecil.
Semoga perjuangan didikan ibu luar biasa akan menghasilkan generasi-generasi yang luar biasa pula. Karena ibu adalah madrasah awal, tempat seorang manusia menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Belajar dari wanita Palestina, yang dengan kegigihannya mampu mendirikan madrasah tempat lahirnya manusia pengubah peradaban.



0 comments:

Post a Comment

comment this post