Bismillahirrahmaanirrahiim.
Sebuah kisah yang jika kita hayati mendalam akan menjadi
sebuah pembelajaran berharga betapa sulitnya berkorban dan mengikhlaskan. Saya utarakan
dengan penuh rasa haru, dengan kata-kata yang saya rangkai seadanya, namun
berharap penuh bahwa setiap kata adalah do’a bagi mereka para syuhada di negeri
Palestina…
Gerakan-gerakan kecil itu, dari sudut-sudut kota di
Palestina yang kini porak poranda. Dari tangan-tangan yang gemetar memegang
batu-batu untuk dilontarkan pada musuh. Dari langkah yang mantap melangkah ke
depan menuju pembalasan atas kehancuran negeri. Dari cucuran darah yang menetes
deras di hidung, di pipi, di pelipis, di mulut. Gerakan intifada’ mewarnai
indahnya perjuangan rakyat Palestina atas kedzaliman yahudi.
Tak seimbang. Manusia bisa berkata demikian, namun bagi
Allah azza wa jalla, semuanya mungkin. Kun fayakun.
Di kerumunan pasar, rakyat Palestina melakukan kegiatan jual
beli seperti biasa. Suatu hari, di kerumunan pasar itu, satu buah bom mendarat
menyisakan ledakan api, abu dan bahan-bahan yang dikandungnya. Masyarakat di
kerumunan berpencar menyelamatkan diri, namun satu jam setelah itu, mereka
kembali untuk beraktifitas di kerumunan pasar. Analogi mengharukan memang. Saat
di negara-negara merdeka satu saja ledakan –meskipun kecil- , akan ramai
diberitakan. Namun bagi mereka, ini adalah hal yang biasa. Suara bising khas
ledakan sudah menjadi santapan mereka sehari-hari.
Seorang ibu, sedang berada di dalam rumahnya dengan suami
dan ke-9 orang anaknya. Mereka tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada
diri dan keluarga mereka sekalipun mereka harus siap dengan kematian yang
seolah membayang-bayangi semua hidup rakyat palestina.
Subhanallah, hari itu, rumah mereka terhantam bom yahudi,
meruntuhkan tembok-tembok dan atap rumah mereka. Sang ibu tak sadarkan diri,
pun dengan suaminya. Dan ketika beliau sadar, beliau sedang dalam perawatan
seorang dokter. Beliau bertanya, “dokter, apa yang terjadi pada diriku dan
keluargaku.” Sang dokter menjawab, “kau selamat, hanya terluka sedikit dan
suamimu pun demikian.” Tak puas dengan jawaban dokter, ia pun kembali bertanya,
“bagaimana dengan kondisi anak-anakku?”. Dengan muka sedih,dokter menjawab “kesembilan
anakmu, insyaAllah, telah syahid.”
Bayangkan bila dirimu berada di posisi wanita Palestina
tersebut? Mudahkah untuk mengikhlaskan kepergian anak-anak hasil didikan secara
susah payah begitu saya direnggut nyawanya? Bisakah kita setegar wanita
Palestina itu yang justru bertasbih “subhanallah, maha besar Allah yang
menjadikan anak-anakku syahid.” dan menanyakan :
“dokter, dengan usiaku saat ini, berapa tahun lagi aku mampu
untuk melahirkan?”
Dokter menjawab, “sekitar 10 tahun lagi kau masih mampu
untuk melahirkan.”
Mendengar itu beliau berazzam, “demi Allah, dalam 10 tahun
ini, aku akan melahirkan 10 orang anak, mengurus dan membesarkannya sebagai tentara-tentara
Allah, manusia yang berjuang di jalan-Nya”
Subhanallah.
Begitulah wanita palestina. Yang dari rahimnya lah lahir
manusia-manusia penggenggam batu, tentara intifada’, pejuang Hammas, dan
pembela risalah Allah.
Dari didikannya lah terbentuk kepribadian berkarakter para
mujahid.
Mereka tidak mau mengeluh atas keterbatasan, meski perbedaan
kekuatan militer jelas mencolok. Batu memang tidak sebanding dengan bom. Tapi,
Allah selalu punya kendali. Dia hembuskan rasa takut pada hati tentara Yahudi,
meski lawan mereka bersenjatakan batu dan bom berbahan peledak kecil.
Semoga perjuangan didikan ibu luar biasa akan menghasilkan
generasi-generasi yang luar biasa pula. Karena ibu adalah madrasah awal, tempat
seorang manusia menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Belajar dari wanita Palestina,
yang dengan kegigihannya mampu mendirikan madrasah tempat lahirnya manusia
pengubah peradaban.
0 comments:
Post a Comment
comment this post